Senin 15 Oct 2018 11:35 WIB

Pengamat: Politik Indonesia Mengalami Kebuntuan

Aktivitas politik yang tercermin dipercakapan media sosial alami polarisasi akut.

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Melawan hoaks
Foto: republika
Melawan hoaks

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat media UIN Sunan Kalijaga, DR Iswandi Syahputra, mengatakan kehidupan politik saat ini mengalami jalan buntu. Padahal politik membutuhkan gagasan yang berbasis data.

 

"Aktivitas politik terutama yang tercermin dalam percakapan di media sosial saat ini menemui jalan buntu karena kuatnya polarisasi netizen. Sudah tidak jelas lagi antara informasi hoax dan informasi yang benar. Orang yang kita kenal benar juga terjebak pada informasi hoax. Sementara yang biasa sebarkan hoax malah sering dianggap benar,’’ kata Iswandi, kepada Republika.co.id (15/10).

 

Fenomena tersebut menurutnya mengharusikan ada kesadaran publik untuk membuka kesadaran baru tentang informasi. Sebab, masa depan Indonesia tidak bisa dibangun dari informasi hoax. 

 

“Salah satu cara mencegahnya adalah berpolitik gagasan berbasis data. Dengan data orang akan belajar, melihat kebenaran dari apa data yang disajikan bukan melihat kebenaran dari siapa yang mengatakan,’’ katanya

 

Menurutnya,  memasuki tahun politik pada Pemilihan Presiden 2019 yang hanya menghadirkan dua kontestan, dinilai rawan dengan politik aliran atau identitas. Oleh sebab itu, memasuki tahun politik, Indonesia dinilai perlu memperkuat politik gagasan berbasis big data. 

 

"Saat ini sudah terlihat adanya polarisasi yang semakin mengeras baik di kalangan masyarakat maupun warganet di media sosial. Sayangnya polarisasi tersebut dibangun di atas semangat politik kelompok atau politik identitas. Itu sebabnya, kita memerlukan politik gagasan berbasis big data,” ujarnya.

 

Semetara itu, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fahtul Wahid, PhD pada seminar da  launching Drone Emprit Academic (DEA) di kampus UII Yogyakarta, mengatakan politik yang hanya digunakan untuk kepentingan kelompok atau perjuangan politik identitas berbahaya, Bahkan tidak akan menjanjikan perbaikan bagi masa depan Indonesia.

 

"Kelompok yang menang Pilpres akan terus dimusuhi oleh kelompok yang kalah. Sebaliknya kelompok yang menang juga menganggap lawan kelompok yang kalah. Padahal kemenangan Pilpres seharusnya menjadi kemenangan bagi Indonesia. Politik gagasan menjadi penting dikedepankan sejak dini oleh warganet".

 

Sementara itu, Ismail Fahmi sebagai penggagas DEA berpendapat, warga net masuk dalam perangkap politik identitas karena tidak menggunakan data dengan baik dan maksimal.

 

"Di media sosial, setiap warganet dapat saja terikut dan tersangkut oleh arus besar opini yang digulirkan. Opini tersebut sendiri sebenarnya belum tentu dimunculkan berdasarkan data. Dalam konteks ini, penggunaan data untuk membangun gagasan politik yang sehat menjadi jalan keluar".

 

Menurutnya, big data menjadi sumber rujukan atau pembanding atau  pedoman bagi warganet untuk mengusung politik gagasan. "Suatu gagasan itu harus berbasis data. Menggunakan data dalam beropini atau beradu argumen akan mendorong munculnya politik gagasan".

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement