Ahad 14 Oct 2018 23:30 WIB

Pemerintah Perlu Waspadai Fenomena El Nino

Kondisi cuaca seperti ini akan memengaruhi sawah tadah hujan.

Rep: Melisa Riska Putri / Red: Satria K Yudha
Tanaman cabai rawit tampak meranggas akibat kekeringan di musim kemarau di areal perkebunan kawasan perbukitan, di Desa Mekarwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (17/9).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Tanaman cabai rawit tampak meranggas akibat kekeringan di musim kemarau di areal perkebunan kawasan perbukitan, di Desa Mekarwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah diminta mewaspadai faktor iklim terhadap produksi padi. Sebab, kekeringan yang masih terjadi di beberapa daerah, dikhawatirkan berlanjut karena ada fenomena El Nino. Dengan adanya El Nino, musim hujan yang diperkirakan terjadi pada November, intensitasnya akan rendah. 

Pengamat pertanian Khudori mengatakan, kemarau panjang yang akan diikuti El Nino merupakan situasi yang tidak bersahabat bagi pertanian padi. "Padi itu salah satu tanaman pangan yang membutuhkan banyak air," kata Khudori akhir pekan ini. 

Ia mengatakan, kondisi cuaca seperti ini akan memengaruhi sawah tadah hujan, alias sawah yang sistem pengairannya sangat mengandalkan curah hujan. Sehingga, produksi sawah tadah hujan bisa terganggu. 

Khudori berharap pemerintah dapat memberikan perhatian khusus terhadap lahan pertanian di daerah yang terkena bencana, seperti Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurutnya, kedua provinsi tersebut merupakan lumbung padi dengan total produksi mencapai tiga juta ton per tahun.

"Kalau rusak setengahnya saja, bisa kehilangan potensi 1,5 juta ton padi," kata Khudori.  

Pengamat pertanian UGM Andi Syahid Muttaqin mengatakan, kondisi musim kemarau di Indonesia agak berbeda tahun ini. Bagian utara khatulistiwa memang tidak mengalami musim kemarau berkepanjangan, bahkan sudah memasuki musim hujan. Namun, daerah selatan Indonesia yang dekat dengan Australia justru mengalami musim kemarau dengan tingkat yang parah dan lama. 

Kondisi tersebut, kata dia, tak terlepas dari fenomena alam berupa Munson India. Pakar agroklimatologi ini memperkirakan musim kemarau panjang karena Munson India ini bisa berakhir pada 10 hari pertama November. Sayangnya, di saat bersamaan, pada waktu yang sama sudah muncul siklus El Nino yang mengurangi intensitas curah hujan, dibandingkan musim-musim hujan yang lalu.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan (Dirjen TP) Kementan Sumardjo Gatot Irianto sebelumnya memastikan, hasil panen padi di musim kemarau menghasilkan gabah yang berkualitas. "Justru di musim kemarau, serangan hama rendah, foto sintesis maksimum. Terjadi panen gadu dimana produktivitas tinggi, gabahnya berkualitas. Biaya produksi rendah dan harga gabah yang bagus, menjadi berkah untuk petani," kata Sumardjo, Rabu (10/10).

Sesditjen Tanaman Pangan Maman Suherman menambahkan, panen di beberapa daerah tersebut adalah hasil kerja keras petani untuk memenuhi kebutuhan pangan. "Apa yang kami ungkapkan adalah berdasarkan laporan dan kenyataan di lapangan. Di musim kemarau, petani kita tetap bekerja untuk memenuhi produksi dan pasokan pangan dengan kualitas dan harga yang baik," ujar Maman.

Maman menambahkan, sekitar 17 ribu hektare lahan padi di Kabupaten Ngawi mulai dipanen, termasuk diantaranya di Kecamatan Karangjati, Padas, Pangkur, Bringin, Kawadungan, Ngawi, Paron dan Kedunggalar. Panen dilakukan dengan menggunakan combine harvester. Hasil rata-rata mencapai 7,5 ton/hektare gabah kering panen (GKP), dengan harga Rp 4.700/kg GKP. Wilayah Ngawi juga akan panen komoditas jagung di bulan Oktober mencapai sekitar 2.930 hektare.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement