REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyebut, kebutuhan dana tanggap darurat dan pemulihan dini guna pascabencana di Lombok dan Sulawesi Tengah (Sulteng) mencapai 26,6 juta dolar AS. Dana itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan dalam waktu enam bulan.
Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia, Debora Comini mengatakan, dana itu akan membantu menyediakan layanan air bersih, sanitasi, dan kebersihan (WASH), kesehatan, gizi, pendidikan, serta perlindungan bagi sekitar 475.000 anak sebagai bagian dari upaya tanggap bencana. Pasalnya, diperkirakan 1,5 juta orang terdampak tsunami yang disebabkan oleh gempa berkekuatan 7,4 SR yang terjadi di wilayah lepas pantai Sulawesi pada 28 September.
"Saat ini, prioritas utama kami adalah memastikan agar anak-anak menerima bantuan yang menyelamatkan nyawa dalam bentuk layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi, gizi dan perlindungan anak,” kata Comini dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (11/10).
Menurut dia, masa enam bulan ke depan adalah masa yang luar biasa penting bagi para penyintas. Ia menegaskan, setiap anak yang terdampak punya kesempatan yang adil untuk melanjutkan proses pemulihan dan membangun kembail kehidupan mereka di lingkungan yang aman dan kondusif.
Berdasarkan data BNPB per Kamis (11/10), bencana di Sulteng berdampak pada 2.073 jiwa meninggal, 10.679 orang terluka, dan 680 orang masih hilang. Pengungsi dilaporkan mencapai 87.725 orang dan 18.353 orang dievakuasi ke luar Sulteng.
Selain itu, sekitar 500 ribu masyarakat masih membutuhkan akses terhadap layanan air bersih. Sementara di Lombok, setelah serangkaian gempa yang sangat merusak terjadi pada Juli hingga Agustus, lebih dari 340.000 orang masih mengungsi di 2.800 tenda pengungsian.
Comini mengatakan, UNICEF menggalang dana sebesar US$ 26,6 juta dollar AS untuk mendukung 1,4 juta orang mendapat akses layanan WASH, perlindungan anak, pendidikan, kesehatan dan gizi bayi di Sulteng dan Lombok.
Ia menjelaskan, sebelum bencana terjadi, Kota Palu memiliki cakupan imunisasi rendah, sekitar 49 persen. Sementara prevalensi keadaan berat badan dan tinggi badan tidak sesuai usia (wasting dan stunting), masing-masing adalah 12,5 dan 36,1 persen. Ia menyebut, Sulteng merupakan salah satu daerah dengan tingkat sanitasi terendah di Indonesia.
Kerentanan ini memperparah risiko ribuan anak terkena wabah penyakit. Ia mengatakan, sebagian besar dari 2.700 sekolah di sana juga bisa terdampak dan pendidikan 270.000 anak bisa terancam.
Apalagi, tak sedikit anak-anak yang terpisah dari keluarganya dan yang memerlukan dukungan psikososial. Menurut dia, tim UNICEF yang berada di lapangan tengah membuat fasilitas berbasis masyarakat yang aman untuk perempuan dan anak.
Fasilitas itu termasuk yang ramah anak. Selain itu, pihaknya juga melanjutkan mekanisme pendataan dan pelacakan untuk membantu mengidentifikasi, mendata, verifikasi, dan menyatukan kembali anak dan keluarganya.
Sedangkan di Lombok, ia melanjutkan, UNICEF mendukung Kementerian Kesehatan di bidang gizi, kesehatan ibu, dan anak dan imunisasi. Pihaknya juga bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum untuk bidang air, sanitasi, dan kebersihan (WASH). Terakhir, kerja sama dilakukan dengan Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memastikan kegiatan perlindungan anak dan psikososial berjalan selaras dengan standar minimal global.
“Staf UNICEF yang sudah berada di area terdampak, mendukung upaya tanggap bencana pemerintah di bidang air, sanitasi dan kebersihan, perlindungan anak, kesehatan, gizi dan pendidikan. Kami akan terus berada di sana, memperluas operasi bantuan langsung hingga ke tahap pemulihan dini agar anak-anak dapat meneruskan kembali kehidupan mereka demi masa depan yang lebih baik,” kata Comini.