REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar agroklimatologi Andi Syahid Muttaqin memprediksi, musim kemarau baru akan berakhir pada awal November. Hal ini terjadi karena musim kemarau pada tahun ini cukup berbeda dan unik.
Akademisi dari fakultas pertanian UGM itu mengatakan, bagian utara Khatulistiwa tidak mengalami musim kemarau berkepanjangan, bahkan sudah memasuki musim hujan.
Namun, daerah selatan Indonesia yang dekat dengan Australia justru mengalami musim kemarau dengan tingkat yang parah dan lama. Kondisi ini, kata dia, tak terlepas dari fenomena alam berupa Munson India.
“Munson India itu pengaruhnya ke musim kemarau Indonesia. Saya pantau, indeks Munson India itu tahun ini lebih kuat dari normalnya. Normalnya 10 mps, tahun ini mencapai 15 mps, bahkan ada yang sampai 17 mps,” kata Andi, kemarin.
Menurut pengamatannya, musim kemarau panjang karena Munson India ini bisa berakhir di 10 hari pertama bulan November. Sayangnya, di saat bersamaan, sudah muncul siklus El Nino yang mengurangi intensitas curah hujan, dibandingkan musim-musim hujan yang lalu.
“Hujannya akan lebih tipis. Ada El Nino yang kira-kira terjadi November sampai Maret 2019 nanti,” ungkapnya lagi.
Oleh sebab itu, ia berharap pemerintah dapat memitigasi dampak panjangnya musim kemarau. Salah satunya terhadap produksi tanaman pangan. Sebab, periode November hingga Maret biasanya merupakan masa tanam hingga panen raya pertama untuk padi.
Berdasarkan data InaRisk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), risiko kekeringan di Indonesia mencapai 11,77 juta hektare tiap tahunnya. Kekeringan tersebut berpotensi menimpa 28 provinsi.