Kamis 11 Oct 2018 00:14 WIB

Negara Membidik Zakat untuk Pembiayaan Pembangunan

Blended Finance disebut sebagai solusi mengatasi keterbatasan anggaran negara.

Nidia Zuraya, wartawan Republika
Foto: Dok. Pribadi
Nidia Zuraya, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nidia Zuraya*

Wacana tentang blended finance (pembiayaan campuran) terbilang baru di Indonesia. Wacana ini pertama kali muncul pada Oktober 2017 silam. Saat itu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo untuk membahas skema pembiayaan blended finance dengan tujuan yang ingin dicapai, yakni Sustainable Development Goals (SDGs).

Sementara Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menyebut blended finance bisa menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan anggaran negara dalam membiayai pembangunan nasional. Sekitar 40,14 persen biaya pembangunan infrastruktur nasional bersumber dari dana APBN. Sisanya bersumber dari dana APBD (9,88 persen), BUMN (19,32 persen), dan swasta (30,66 persen).

Sebagai sebuah solusi mengatasi keterbatasan anggaran, blended finance  menjadi salah satu topik yang rencananya akan dibahas secara khusus dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia yang berlangsung di Bali hingga 14 Oktober mendatang. Seperti kata Luhut, Indonesia ingin menempatkan diri sebagai negara yang menjadi leader dalam blended finance.

Sejatinya blended finance bersumber dari pembiayaan non-pemerintah. Salah satu contoh pembiayaan campuran ini adalah dengan memadukan dana investasi komersial dengan dana filantropi.

Pendanaan filantropi yang cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional adalah zakat.  Zakat merupakan salah satu bagian dalam filantropi Islam.

Dengan jumlah populasi Muslim sebanyak 220 juta jiwa, potensi zakat di Indonesia cukup besar. Tercatat, di Indonesia potensi zakat sebesar Rp 217 triliun. Menurut data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), pada tahun lalu pengumpulan dana zakat mencapai Rp 6,22 triliun atau meningkat 30 persen dibandingkan tahun 2016.

Besarnya potensi zakat di Indonesia memunculkan keinginan dari Baznas dan Kementerian Keuangan untuk mengelola zakat seperti halnya pajak. Bahkan Baznas menyebut potensi zakat jika dibandingkan dengan penerimaan pajak saat ini mencapai 1,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Bisa dibayangkan jika wacana ini diterapkan berapa besar defisit anggaran negara untuk pembangunan bisa teratasi, sehingga pemerintah tidak perlu terus menumpuk jumlah utang. Namun, sayangnya wacana pengelolaan zakat seperti pajak masih menuai pertentangan. 

Pada awal tahun ini isu mengenai zakat sebagai dana filantropi kembali mencuat. Saat itu, pemerintah melalui Kementerian Agama mewacanakan pemotongan gaji PNS sebesar 2,5 persen untuk dana zakat. Dana zakat yang akan diambil dari gaji PNS ini nantinya akan digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur.

Wacana penggunaan dana sosial keagamaan seperti zakat untuk pembangunan infrastruktur ini sebenarnya sudah ramai dibicarakan sejak pengujung tahun lalu. Pemerintah kala itu terus berkoordinasi dengan Baznas dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk mengoptimalkan penggunaan dana zakat untuk pembangunan infrastruktur sosial.

Hasilnya, Kementerian PPN/Bappenas baru saja meluncurkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Provinsi Jambi dengan menggunakan skema blended finance. PLTMH tersebut dirancang untuk dapat menyediakan akses kelistrikan bagi 4 desa terpencil, dengan 803 rumah tangga dan 4.448 orang.

Pembangkit tersebut adalah hasil kerja sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Baznas, Bank Jambi, dan United Nations Development Programme (UNDP). Skema blended finance yang digunakan dalam menggarap proyek PLTMH di Jambi ini diklaim sebagai yang pertama di dunia.

Bahkan, untuk meningkatkan implementasi bisnis pembangunan berkelanjutan ini Baznas meluncurkan Fiqh Zakat on SDGs. Fiqh Zakat on SDGs ini diharapkan bisa menjadi pedoman bagi para filantropi muslim untuk mendukung berbagai proyek SDGs.

  

Tipe kerja sama dengan memanfaatkan dana filantropi ini akan terus ditingkatkan dan memiliki prospek yang sangat baik. Apalagi mengingat sesuai data World Giving Index 2017, Indonesia mendapat predikat the second most generous country.

Karenanya, pemerintah menginginkan agar keberhasilan pembangunan PLTMH Jambi ini menjadi salah satu referensi utama bagi kaum muslim dunia untuk mengimplementasikan proyek-proyek SDGs. Sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia tentunya proyek PLTMH di Jambi ini jika sukses dilakukan akan menjadi kebanggaan tersendiri buat masyarakat Indonesia dan khususnya buat umat Islam di negeri ini.

Saatnya umat Islam di Indonesia bangkit dan memberikan kontribusi nyata lewat uang zakat yang selama ini mereka bayarkan. Tunjukan kepada dunia bahwa masyarakat Indonesia benar-benar orang yang murah hati. 

 

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement