Selasa 09 Oct 2018 09:52 WIB

Sebuah Panggilan untuk Indonesia

Zulfiqar Ali nyaris dieksekusi mati padahal dia tidak bersalah

Hukuman Mati/ilustrasi
Foto: Republika/Mardiah
Hukuman Mati/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste

Pada 31 Mei 2018, seorang yang tidak bersalah mengembuskan napas terakhirnya. Orang itu bernama Zulfiqar Ali. Penulis tidak pernah bertemu Ali, tapi bisa merasakan tragedi yang menimpanya.

Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat internasional, Reprieve adalah pihak pertama yang memberi tahu penulis tentang kasus Ali. Kasus ini mengingatkan penulis pada kasus yang hampir sama, dialami oleh salah seorang warga negara Inggris, Timothy Evans.

Zulfiqar Ali seorang warga negara Pakistan. Ia adalah bapak dari enam orang anak. Dia meninggal saat menunggu putusan grasi. Permohonan grasi tersebut diajukan sekitar tiga bulan sebelum meninggalnya Ali.

Menyusul permintaan Pemerintah Pakistan kepada Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Islamabad pada Januari 2018. Kesehatan Ali telah memburuk--para dokter menjatuhkan vonis bahwa umur Ali hanya tinggal beberapa bulan lagi.

Zulfiqar Ali ingin dikenang sebagai manusia yang merdeka, dikelilingi oleh keluarga tercintanya. Ali ditangkap pada 2004 berdasarkan pernyataan dari kenalannya. Kenalan Ali tersebut ditangkap dengan barang bukti heroin seberat 300 gram.

Orang itu menuduh Ali sebagai pemilik barang haram tersebut. Setelah itu, kenalannya, ia mencabut kembali pernyataannya karena disampaikan di bawah tekanan. Kenalannya juga mengakui bahwa Ali tidak ada hubungannya dengan narkoba tersebut.

Ali ditahan di rumahnya dan pada saat penahanan dipaksa untuk menandatangani sebuah 'pengakuan'. Di pengadilan, Ali menarik kembali pengakuannya dengan alasan ia tidak bersalah dan menyatakan ia menandatangani pengakuan itu di bawah tekanan.

Reprieve melaporkan, tidak ada lagi bukti lain. Tidak ada bukti forensik. Tidak ada keadaan yang memungkinkan Ali untuk terlibat dalam kasus itu.

Namun, pengadilan memvonis Ali bersalah dan menjatuhkan hukuman mati walaupun jaksa hanya mengajukan tuntutan 20 tahun penjara terhadapnya. Seluruh upaya hukum selanjutnya menemui jalan buntu.

Pada 2010, Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan dibuka penyelidikan terhadap kasus ini. Mereka yang terlibat penyelidikan ulang mengatakan, Ali tidak bersalah. Namun, kajian itu tidak dipublikasikan.

Kajian itu juga tidak ditindaklanjuti. Kepala tim penyelidik, Profesor Hafid Abbas telah menulis surat ke Presiden Joko Widodo pada September 2016 untuk meminta persetujuan grasi atas Ali. Namun, Ali masih tetap dipenjara.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement