Ahad 07 Oct 2018 16:50 WIB

Nobel, Islam, dan Perbudakan

Islam mengajarkan kebebasan untuk budak, bukan perbudakan

Fitriyan Zamzami
Foto: Republika/Daan Yahya
Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Panitia Penghargaan Nobel baru saja menganugerahkan Nobel Perdamaian 2018 akhir pekan lalu. Yang dinilai layak menerima tahun ini adalah Nadia Murad, seorang perempuan Yazidi Iraq korban pemerkosaan kelompok ekstremis ISIS; dan Denis Mukwege, seorang dokter kandungan dari Kongo.

Dokter Mukwege dihargai terkait upayanya memulihkan korban pemerkosaan perang etnis di Kongo. Sementara Murad, berkampanye mengungkapkan kekejaman ISIS terhadap para perempuan.

Kedua orang itu hadir di tengah perang dengan demografi yang berbeda. Dokter Mukwege hadir di tengah korban kelompok-kelompok milisi dengan latar Kristen sinkretis. Sementara Murad bersama perempuan-perempuan lain etnisnya adalah korban kekejaman ISIS yang mendasari gerakan mereka dengan versi Islam yang dipelintir.

Baca Juga: ISIS Coba Justifikasi Perbudakan dengan Sebarkan Pamflet

Dilaporkan, perempuan-perempuan Yazidi yang ditawan ISIS kerap mengalami pemerkosaan dengan dalih perbudakan yang menurut mereka direstui syariat Islam. Pada 2014, ratusan ulama terkemuka Islam dari seluruh dunia sedianya telah mengeluarkan kecaman terhadap hal tersebut. Otomatis, sorotan kembali mencuat soal hubungan Islam dengan perbudakan seturut penganugerahan penghargaan terhadap Murad. Bagaimana sedianya posisi ajaran Islam terkait klaim ISIS?

Para ulama menekankan kelakuan pasukan ISIS adalah pelanggaran berat terhadap ajaran Islam. Para ulama juga bereaksi keras terhadap klaim ISIS soal perbudakan. "Islam mengajarkan kebebasan untuk budak, bukan perbudakan. Yahudi, Kristen, Yunani, Romawi dan Persia semuanya mempraktikkan dan mengambil perempuan dari musuh-musuh mereka sebagai budak seks. Islam menemukan praktik ini dan berupaya menghapusnya," ujar Dekan Fakultas Teologi Islam di Universitas Al-Azhar, Profesor Abdel Fattah Alawari seperti dikutip Republika.co.id.

Baca Juga: Terungkap Fatwa ISIS Terkait Budak Seks

Para peneliti Islam juga menyimpulkan bahwa meski tak langsung mensyaratkan penghapusan perbudakan, ajaran Islam memberikan pijakan bagi hilangnya praktik itu di masa datang. Menurut Prof Annemarie Schimmel dalam “Islam an Introduction (1992)”, misalnya, yang tercantum dalam Alquran dan dicontohkan Rasulullah SAW adalah semacam trayektori yang mengarah pada hilangnya perbudakan.

Para ulama dan peneliti menyandarkan asumsi ini pada sejumlah ayat Alquran, hadits, dan regulasi fiqh. Sejumlah ayat-ayat Alquran, misalnya, menegaskan membebaskan budak adalah salah satu perbuatan terpuji.

Islam mengajarkan kebebasan untuk budak, bukan perbudakan.

Pada Surah al-Balad, misalnya, Allah memberikan dua pilihan jalan bagi manusia. Jalan mudah yang menjauhkan dari Allah dan jalan sulit yang merupakan jalan kebaikan. “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS 90:12-14).

Hal serupa juga disampaikan dalam surat al-Baqarah. "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS 2:177).

Selain menganjurkan pembebasan budak sebagai kebaikan, sejumlah pelanggaran dalam Islam seperti berhubungan seks saat puasa Ramadhan atau melanggar sumpah juga bisa ditebus dengan membebaskan budak. Sementara zakat yang dikumpulkan negara juga salah satu penggunaannya yang dianjurkan adalah untuk membebaskan para budak (QS Attaubah 9:60).

Alquran juga menyatakan para budak boleh mengajukan “mukatabah” alias kontrak pembebasan mereka dengan sejumlah syarat-syarat yang diajukan ke majikan, seperti pemenuhan masa kerja atau beban kerja tertentu (QS Annur 24:33).

Sementara terkait para tawanan perang, Alquran menyatakan mereka boleh dibebaskan dengan tebusan maupun kebaikan hati pihak penawan (QS Muhammad 47:4). Salah satu yang kerap jadi kritikan adalah diperbolehkannya majikan menyetubuhi budak perempuan seperti tertuang dalam surat al-Mukminuun ayat 5-6.

Kendati demikian, hal itu juga memiliki konsekuensi pembebasan karena anak hasil hubungan tersebut otomatis menjadi manusia bebas dan ibunya harus dibebaskan seturut kematian pemiliknya. Selain itu, Alquran dan hadits juga membatasi hal itu pada satu majikan laki-laki.

Upaya-upaya pembebasan budak dalam Islam juga ditekankan Rasulullah dalam sunnahnya. Riwayat mencatat, sedikitnya 40 ribu budak dibebaskan Rasulullah dan para sahabat pada masa awal Islam. Beberapa di antaranya, seperti Bilal bin Rabah dan Zaid bin Haritsah menempati posisi penting dalam sejarah Islam.

Rasulullah juga mencontohkan pembebasan budak perempuan dengan menikahi mereka. “Mereka yang memiliki budak perempuan kemudian mengajarkannya akhlak yang baik, memberikannya pendidikan, membebaskannya dan kemudian menikahinya akan mendapatkan dua kali pahala,” kata Rasulullah seperti dicatat dalam Shahih Bukhari.

Rasulullah juga melarang keras manusia merdeka diperbudak maupun praktik perdagangan manusia (seperti yang dipraktikkan ISIS). Ulama-ulama mazhab Hanafiyah meluaskan larangan ini pada non-Muslim. Meski tawanan dan budak bisa diambil riwayat mencatat Rasulullah dan para sahabat membebaskan tawanan perang, petempur maupun warga sipil, setidaknya selepas Perang Badar dan Perang Hunayn.

Bagaimanapun, selepas wafatnya Rasulullah dan kian luasnya daerah kekuasaan Islam dan persentuhan dengan imperium lain, praktik-praktik perbudakan lama sempat kembali dilakukan sejumlah dinasti. Meski kemudian pada abad ke-19 dan ke-20, mayoritas ulama menyatakan tak ada kondisi yang memungkinkan secara syariat untuk dikembalikannya praktik perbudakan. Wallahu 'alam bisshawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement