Sabtu 06 Oct 2018 10:10 WIB

Rupiah Melemah, Inflasi Diwaspadai

Inflasi pekan pertama Oktober 2018 mencapai 0,01 persen.

Inflasi (ilustrasi)
Inflasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Fikri Noor

Pemerintah tampaknya harus mulai memikirkan sejumlah dampak pelemahan mata uang rupiah atas dolar Amerika Serikat (AS). Salah satunya adalah konsekuensi atas laju inflasi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan depresiasi rupiah yang kini mencapai angka psikologis baru, yakni di atas Rp15 ribu per dolar AS, sudah pasti bisa berakibat pada inflasi.

Tapi, dia sejauh ini belum melakukan perhitungan secara rinci dampaknya pada peningkatan nilai tersebut. "Ada kenaikan, tetapi belum banyak. Saya belum bisa bilang berapa karena harus dihitung dulu dalam inflasi inti itu sebenarnya berapa persen yang impor," kata Darmin saat ditemui di Kementerian Keuangan, Jumat (5/10).

Ia menjelaskan bahwa pelemahan rupiah yang mencapai 10 persen pasti akan memberikan pengaruh dari sisi imported inflation atau inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi yang berasal dari luar negeri disebabkan oleh peningkatan harga di luar negeri atau depresiasi nilai tukar.

Ketika harga impor meningkat, harga barang domestik yang menggunakan impor sebagai bahan mentah juga turut meningkat, sehingga menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa secara umum.

"Impor kita itu kira-kira 30 persen dari ekonomi. Itu memang bisa agak tinggi pengaruhnya ke inflasi, bisa 2,5 persen atau tiga persen," kata Darmin.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), komponen inti pada September 2018 mengalami inflasi sebesar 0,28 persen. Tingkat inflasi komponen inti tahun kalender (Januari–September) 2018 sebesar 2,38 persen dan tahun ke tahun (September 2018 terhadap September 2017) sebesar 2,82 persen.

Laju inflasi awal pekan ini sudah mulai terpantau. Bank Indonesia (BI) menyebutkan, laju inflasi pada pekan pertama Oktober 2018 secara bulanan (month to month) mencapai 0,01 persen atau secara tahunan (year on year) 2,89 persen.

"Berdasarkan survei pemantauan harga minggu pertama perkiraan bulan ini inflasinya masih tetap rendah. Estimasinya inflasi 0,01 persen month to month, year on year 2,89 persen," kata Gubernur BI Perry Warjiyo ditemui di Kompleks Perkantoran BI.

Dengan perkembangan tersebut, lanjut Perry, bank sentral meyakini laju inflasi sepanjang tahun ini akan sedikit di bawah titik tengah kisaran target inflasi BI, yaitu 2,5-4,5 persen.

Untuk menjaga agar laju inflasi dampak pelemahan rupiah tidak makin tinggi, BI akan berada di pasar guna memantau dan melakukan langkah stabilisasi. Salah satunya, dengan memastikan suplai dan kebutuhan bergerak secara baik di pasar valas.

Perry menjelaskan, pelemahan rupiah saat ini memang terjadi karena menguatnya dolar AS yang diiringi kenaikan imbal hasil obligasi Pemerintah AS tenor 10 tahun (US-Treasury Bill) yang cukup tinggi, yaitu menjadi 3,23 persen untuk mengantisipasi hasil survei Michigan yang menyebutkan pertumbuhan lapangan kerja di AS lebih besar dari perkiraan.

"Ini memang menunjukkan ekonomi AS yang menguat dan karena itu dalam kondisi ini investor global preferance-nya investasi di sana," ujar Perry.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi sinyal akan menambah kebijakan untuk mengantisipasi perkembangan dinamika global yang terus mendepresiasi rupiah. Saat ini, pemerintah bersama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan akan terus memantau perkembangan ekonomi global yang terus bergerak dinamis dan menimbulkan penguatan dolar AS.

Koordinasi ini juga dilakukan untuk penguatan kondisi ekonomi dalam negeri yang sudah diupayakan melalui perbaikan neraca transaksi berjalan yang masih mengalami defisit dengan menekan impor barang konsumsi maupun mendorong program pemanfaatan biodiesel 20 persen (B20).

"Kita lihat aspek ekonomi kita, apakah mampu menyerap dinamika yang terjadi, mulai dari kurs, capital inflow, neraca di lembaga keuangan, korporasi, dan APBN. Termasuk kondisi di moneter dan riil, itu semua kita jaga," katanya.

Namun, pemerintah juga memastikan kemungkinan adanya perubahan formula kebijakan, apabila kondisi ekonomi global makin sulit diprediksi untuk memperkuat ketahanan fundamental dalam negeri dan tidak rentan dari tekanan eksternal.

(antara, ed: debbie sutrisno)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement