REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari masih pagi saat saya tiba di Bandara Domine Edward Osok, Sorong, Papua. Hari itu, Selasa, (2/10), saya hendak ke Kabupaten Maybrat, Papua Barat, meliput upacara adat peresmian ibukota kabupaten tersebut di Kumurkek yang akan dihadiri Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Seperti diketahui penentuan ibukota di kabupaten tersebut sempat jadi polemik selama hampir 10 tahun lamanya. Tarik menarik terjadi. Maybrat sendiri merupakan daerah pemekaran. Sebelumnya Maybrat masuk dalam wilayah Kabupaten Sorong Selatan. Pada 2009, Maybrat dimekarkan.
Tapi sejak dimekarkan, masalah penentuan ibukota tidak kunjung selesai. Sempat ditetapkan ibukota kabupaten di Ayamaru. Bahkan di Ayamaru, sudah dibangun beberapa fasilitas gedung pemerintahan. Kantor bupati pun terlanjur di bangun di Ayamaru. Tapi, persoalan ibukota tetap tidak selesai.
Setelah dimediasi Kementerian Dalam Negeri, dengan melibatkan wakil tiga suku besar di Maybrat yakni Ayamaru, Aitinyo dan Aifat, dan tokoh masyarakat serta adat, akhirnya disepakati ibukota kabupaten ada di Kumurkek. Mendagri dijadwalkan menghadiri upacara penetapan Kumurkek sebagai ibukota, Rabu (3/10).
Selesai sarapan, dengan diantar mobil carteran, saya dan satu wartawan lainnya ditemani staf dari Kemendagri meluncur ke Maybrat. Menurut Markus, supir mobil carteran asal Toraja, Sulawesi Utara, waktu tempuh ke Maybrat sekitar 4 jam-an.
"Sekarang jalan sudah bagus zaman Pak Jokowi (Presiden RI, Joko Widodo)," kata Markus.
Sepanjang mata memandang, Kota Sorong sudah ramai. Suasananya sudah mirip kota-kota di Pulau Jawa. Mall dan hotel-hotel besar sudah berdiri di Sorong.
Dan benar kata Markus, keluar dari kota Sorong, jalan menuju Maybrat memang sudah bagus. Jalan sebagian beraspal mulus. Sebagian jalan berbeton. Tidak jarang mobil hilir mudik selama perjalanan. Sepi. Jalanan membelah hutan. Tak nampak pula pemukiman. Hanya di beberapa bagian, ada rumah-rumah gubuk. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Jalan berkelok-kelok. Turun naik punggung bukit. Cukup mengocok perut. Hawa lumayan panas menyengat.
" Dulu jalanan jelek. Bisa tujuh hingga delapan jam dari Sorong ke Maybrat," ujar Markus menambahkan.
Sepanjang perjalanan, Markus banyak bercerita keadaan di Maybrat, dan sisi lain kehidupan masyarakat di sana. Ia sering antar jemput warga Maybrat yang hendak pergi ke Sorong atau yang mau ke Jakarta. Langganannya banyak pejabat setempat, seperti para kepala dinas. Penasaran saya pun menanyakan tarif dari Sorong ke Maybrat.
"Ongkosnya dihitung per kepala. 250 per orang. Tapi kalau mau nyarter, sekali jalan 2,5 juta," katanya.
Markus juga sempat bercerita tentang pemukiman warga di sejumlah gubuk di sisi jalan. Ia menuturkan, warga tersebut hanya sementara tinggal di sana. Mereka membangun, lalu mengklaim bahwa itu adalah kampung. Tujuannya demi dapat bantuan. Setelah dapat bantuan dana, warga kembali pulang ke kampung asal. " Ya begitulah," kata Markus.
Walau cukup bagus tapi jalan bergelombang. Hanya ketika pada bagian yang sudah dibeton, jalan yang dilalui lumayan mulus. Begitu memasuki jalan yang beraspal dan ada lubang, terasa jalan yang dilalui bergelombang. Mungkin karena aspalnya bukan yang terbaik. Dan bukan hotmix.
" Tapi ini sudah lumayan bagus, dibandingkan dulu. Dulu jalan jelek banget. Jalan mulai bagus, tiga tahunan ini," tutur Markus.