Rabu 03 Oct 2018 18:51 WIB

Tak Semua Daerah Rawah Gempa Berpotensi Likuifaksi

Ketebalan tanah muda atau alluvium di Palu mencapai satu meter.

Rep: Bayu Adji Prihammanda/ Red: Ratna Puspita
Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Rabu (3/10).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Rabu (3/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan tak semua daerah rawan gempa berpotensi terjadi likuifaksi atau pencairan tanah. Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar mengatakan, fenomena likuifaksi tak hanya bisa dipetakan berdasarkan kerawanan gempa di suatu wilayah.

Ia menjelaskan, fenomena likuifaksi disebabkan guncangan gempa yang terjadi di kontur tanah dengan ketebalan alluvium (tanah muda) tinggi. Namun, setiap wilayah memiliki ketebalan alluvium yang berbeda. 

"Tergantung ketebalan alluvium itu. Ya seperti di Jakarta ini ada yang 30 cm, tetapi di Palu mencapai lebih dari 1 meter. Jadi tergantung sedimentasi dan proses geologinya," kata dia saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Rabu (3/10).

Menurut dia, dampak yang diakibatkan fenomena likuifaksi akan sangat tergantung pada ketebalan lapisan alluvium dalam tanah dan skala guncangan yang terjadi. Karena itu, sulit untuk dilakukan pemetaan di seluruh wilayah Indonesia.

Badan Geologi, kata dia, pernah melakukan pemetaan di beberapa daerah, di antaranya Padang, Aceh, Lombok. Sekarang ini, Badan Geologi juga sedang melakukan analisis di Palu.

"Di Palu itu kan bukan hanya sekarang saja gempa dan tsunaminya, sudah beberapa kali terjadi, sehingga menjadi sorotan. Karena itu jadi perhatian para ahli," kata dia.

Ia mengakui, Badan Geologi terkendala keterbatasan untuk melakukan pemetaan likuifaksi. Karena itu, pemetaan hanya dilakukan di beberapa tempat yang menjadi prioritas, khususnya di kota besar.

Menurut Rudy, kandungan alluvium dalam tanah memang tak bisa dideteksi hanya menggunakan alat sederhana. Namun, lanjut dia, hal itu bisa diketahui dengan melakukan pengeboran ke dalam lapisan tanah.

"Kalau orang membangun hotel itu pasti ngebor dulu, bangunan besar itu kan perlu pondasi yang dalam. Secara teknik, itu (alluvium) harusnya dilewati untuk pondasi. Developer sudah pasti tahu (kandungan alluvium)," kata dia.

Baca Juga:

Gempa berkekuatan magnitudo 7,4 yang terjadi di utara Kota Palu disebabkan pergeseran mendatar sesar Palu-Koro. Gempa yang terjadai pada kedalaman 11 km itu juga dilanjutkan oleh kejadian tsunami. 

Selain gempa dan tsunami, fenomena yang terjadi di Palu, yakni likuifaksi. Ia mengatakan, wilayah Kota Palu banyak terdiri di atas tanah aluvium atau tanah yang masih muda. Artinya, endapan sedimen belum terkonsolidasi, sehingga masih bersifat mudah lepas. 

“Tiga kejadian itu yang sekaligus, sehingga hingga saat ini tercatat lebih dari 1.200 jiwa meninggal," kata dia. 

Saat ini, Badan Geologi sedang melakukan analisis terhadap tiga hal tersebut yang hasilnya ditargetkan rampung pada tiga hari mendatang. Kemudian, Badan Geologi akan memberikan informasi dan rekomendasi untuk melakukan rehabilitas dan rekomendasi.

Kendati demikian, Rudy menyebut rekomendasi yang diberikan tak bersifat mengikat . "Mau dipakai, monggo. Mau tidak dipakai, ya, dilowongkan lebih aman. Rekomendasinya pada yang akan membangun," kata dia.

Namun, ia berharap, pembangunan Kota Palu tetap memperhatikan luasan jalur sesar Palu-Koro. Rudy menyatakan, Kota Palu sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu. Karena itu, penting untuk meningkatkan pengetahuan mitigasi bencana pada masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement