Selasa 02 Oct 2018 05:47 WIB

Mengawal Kampanye Damai

Maka yang mereka akukan adalah menggerogoti APBN, APBD, BUMN, BUMD

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Saya tidak tahu mengapa masa kampanye pilpres dan pileg kali ini terlalu panjang? Selama hampir tujuh bulan (24 September 2018-13 April 2019), seluruh bangsa ini disibukkan oleh kontestasi politik antarpartai, baik dalam menghadapi pilpres maupun dalam berebut suara untuk pileg. 

Apakah pada masa mendatang, masa berebut kuasa itu justru dipersingkat saja, katakanlah selama tiga bulan, agar energi rakyat bisa dipakai untuk kerja-kerja produktif, saat ketimpangan sosial masyarakat Indonesia masih terasa tajam. Apakah suasana kontestasi yang berbulan-bulan itu tidak membosankan, di samping menguras tenaga dan dana?

Sekalipun suarakan Ikrar Kampanye Damai pada 23 September 2018 yang secara moral mestinya mengikat kelakuan semua parpol, saya masih ragu apakah dalam realitas akan dipatuhi. Ikrar yang memuat tiga poin itu semuanya manis dan ideal: (1) Mewujudkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (2) Melaksanakan kampanye pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoaks, dan politisasi SARA dan politik uang. (3) Melaksanakan kampanye berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sekiranya ikrar yang sangat bagus ini dilaksanakan 75 persen saja sudah merupakan sebuah prestasi demokrasi yang patut dibanggakan. Dalam kaitan inilah peran sentral KPU, Bawaslu, media, tokoh masyarakat, alat negara sebagai pengawal kampanye damai menjadi penentu, khususnya KPU dan Bawaslu dari tingkat pusat sampai pelosok. 

Jika masih saja ada anggota KPU dan Bawaslu tidak taat aturan, seperti bersikap partisan, saya sarankan agar langsung dipecat karena telah melanggar sumpah jabatan. Kemudian, saya ingatkan KPU dan Bawaslu tentang penyakit sosial kronis yang perlu selalu dicermati di kalangan anak bangsa yang mengaku beragama ini: “Semudah berikrar, semudah itu pula mengkhianatinya, tanpa terlihat rasa dosa.”

Adapun tokoh masyarakat sebagai pendukung calon pilihannya tentu boleh saja berpihak, tetapi mereka mesti menjaga dan mengarusutamakan kondisi aman dan damai yang secara formal telah disepakati. Jika tidak demikian, martabat sebagai tokoh panutan publik dengan sendirinya akan tergerus.

Pada poin dua di atas, ada ungkapan “tanpa hoaks dan politisasi SARA dan politik uang” yang harus dihindari. Poin ini sungguh sukar dijalankan pada saat dunia media sosial (medsos) yang selama ini telah bergerak dan beroperasi nyaris tanpa etika, tanpa moral. 

Ujaran kebencian dan kata-kata ganas dan kasar adalah senjata yang dipakai untuk melumpuhkan lawan politik. Alat medsos di tangan manusia tunamoral sungguh efektif untuk berbuat apa saja, termasuk perbuatan yang paling hitam sekalipun. 

Pada era politik pascakebenaran pada tataran global, regional, nasional, dan bahkan di kawasan pedesaan, adab dan sopan santun telah semakin terpinggir, dibinasakan oleh kepalsuan dalam jubah kebenaran.

Agama yang seharusnya jadi sumber moral dan etika tertinggi pada era sekarang sudah hampir kehabisan daya dan tenaga, karena sebagian para pemeluknya telah bermetamorfosis menjadi: “political animals.” 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement