Kamis 27 Sep 2018 13:51 WIB

Menyepakati Bahasa Penyelamatan Bencana untuk Orang Tuli

anggota BNPB maupun BPBD mengalami kesulitan menolong orang Tuli ketika bencana.

[Ilustrasi] Petugas BPBD menyelamatkan warga yang terimbas banjir.
Foto: Antara/Muhammad Arif Pribadi
[Ilustrasi] Petugas BPBD menyelamatkan warga yang terimbas banjir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan mengatakan perlu ada kesamaan bahasa dalam upaya menolong orang Tuli ketika terjadi bencana. Selama ini, anggota BNPB maupun BPBD mengalami kesulitan menolong orang Tuli ketika terjadi bencana.

Anggota BNPB atau BPBD tidak memahami bahasa isyarat yang harus digunakan untuk memberikan informasi bencana kepada orang Tuli. “Upaya anggota BNPB maupun BPBD dalam menolong orang Tuli seolah-olah seperti memaksa mereka karena belum ada kesamaan bahasa,” kata Lilik dalam jumpa pers Konferensi Nasional Bahasa Isyarat Indonesia dalam Penanggulangan Bencana di Jakarta, Kamis (27/9).

Lilik mengatakan penyandang disabilitas, termasuk orang Tuli, merupakan  kelompok rentan dalam penanggulangan bencana. "Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan perlu ada perlakuan khusus terhadap kelompok rentan," kata dia. 

Menurut Lilik, kelompok rentan lainnya, yakni usia 60 tahun ke atas, usia lima tahun ke bawah, dan ibu hamil. Khusus untuk orang tuli sebagai salah satu bagian dari penyandang disabilitas, ia mengatakan, tidak ada perbedaan dengan orang yang tidak memiliki hambatan pendengaran.

“Sehingga, penolong tidak tahu bahwa dia orang tuli. Ketika diajak bicara, ternyata sama sekali tidak menanggapi," kata dia.

Baca Juga: Gelang Getar, Inovasi Mahasiswi Bnatu Penyandang Tuli Shalat

Ia mengatakan perlu ada kesamaan bahasa agar orang Tuli dan penolong saling memahami. Sebab, penanggulangan bencana, termasuk upaya pencarian dan pertolongan terhadap korban, harus dilakukan secara cepat tanggap. 

Karena itu, BNPB bekerja sama dengan Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin), ADRA Indonesia dan The Unspoken Ministry mengadakan Konferensi Nasional Bahasa Isyarat Indonesia dalam Penanggulangan Bencana. "Tujuan Konferensi ini adalah menyepakati bahasa seperti apa yang digunakan orang Tuli ketika menghadapi bencana," kata Lilik.

Ketua Umum DPP Gerkatin Bambang Prasetyo menyampaikan terima kasih atas kerja sama penyelenggaraan Konferensi tersebut bersama BNPB. "Ada lebih dari 125 orang dari 25 DPD Gerkatin yang hadir agar mereka tahu cara menanggulangi dan mengurangi rasa sakit akibat bencana," katanya dalam bahasa isyarat yang diterjemahkan.

Pendiri The Unspoken Ministry Deicy Silvia mengatakan masyarakat masih kerap salah paham dalam memandang orang Tuli dan Tuna Rungu. "Orang Tuli adalah orang berbudaya tuli, yaitu yang memahami bahasa isyarat. Sedangkan Tuna Rungu adalah mereka yang tidak berbudaya tuli," jelasnya.

Deicy mengatakan masyarakat Tuli sedang berupaya memperjuangkan kesetaraan dengan masyarakat dengar. Salah satunya penggunaan huruf besar "T" dalam kata "Tuli" dan "R" pada "Tuna Rungu".

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement