REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Metode dan aturan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang terlalu rumit, justru kian membuka peluang terjadinya praktik politik uang. Celakanya, potensi praktik politik uang tersebut rentan dilakukan oleh pihak yang sejatinya bisa memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat, dalam hal ini partai politik (parpol) peserta pemilu.
“Tujuannya demi kepentingan penggalangan antarparpol maupun melakukan penggalangan dukungan,” ujar Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Tengah, M Fajar SAK Arief, dalam acara Panggung Civil Society Membangun Indonesia Lebih Baik dengan tema ‘Kick Off Pemilu Raya 2019, Rakyat Memilih Untuk Apa?’, yang dilaksanakan di Patra Hotel & Convention Semarang, Selasa (25/9).
Fajar mengatakan, di tengah kondisi seperti ini, penyelenggara pemilu termasuk Bawaslu tetap berupaya mewujudkan pelaksanaan Pemilu 2019 yang bermartabat. Ia lantas mengingatkan, persaingan dan dinamika jangan sampai memicu terjadi pelanggaran-pelanggaran pokok pelaksanaan dan penyelenggaraan Pemilu 2019.
Di sisi lain, semua pihak juga wajib menggunakan akal sehat agar pesta demokrasi itu jadi lebih beradab. Termasuk dalam melakukan kampanye. “Bawaslu akan selalu mengawasi setiap tahapan pelaksanaan Pemilu 2019 agar dapat berjalan sesuai harapan kita bersama,” jelasnya.
Pakar politik dan dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Wawan Mas’udi mengatakan, pendidikan politik merupakan tanggung jawab utama parpol.
Jika parpol bisa memberikan contoh yang baik, mengedukasi dan mendidik cara-cara berdemokrasi yang baik, paparnya, masyarakat tentu bakal menjadi pendukung yang cerdas.
Media massa juga memiliki peran yang sangat strategis dalam menyajikan pemberitaan yang objektif, informasi yang bisa dipertanggungjawabkan, serta berita yang menyejukkan.
“Termasuk elemen demokrasi lainnya, jika bisa bersinergi dengan baik, maka akan terjadi keseimbangan dalam berpolitik yang akan mampu mendorong pelaksanaan kontestasi yang bermartabat,” jelasnya.
Sementara itu, Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, dalam kesempatan ini menyampaikan, pendidikan politik semestinya untuk segenap masyarakat dari tingkat bawah sampai tingkat atas.
Agar pada 17 April 2019, masyarakat mau menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS), perlu edukasi mulai dari sekarang agar partisipasi meningkat.
Terkait bagaimana mencari simpati, wali kota pun mengajak semua pihak untuk berlomba-lomba mencari simpati tanpa harus menggunakan isu SARA dan ujaran kebencian dalam berkampanye.
Konsepnya harus bersama, agar pemilu bisa berjalan dengan kondusif. “Kampanye jangan seperti ‘perang’, tetapi ini adalah kompetisi dalam mengambil simpati agar pelaksanaannya pun menjadi lebih asyik,” tegasnya.
Semua pelaksanaan pemilu, lanjut Hendra, akan terasa indah apabila seluruh pihak, baik pelaksana maupun pelaku yang terlibat dalam Pemilu 2019, mampu bersinergi dalam mewujudkan pemilu yang sejuk.
Pemilu yang merebut simpati masyarakat dengan cara-cara yang cerdas dan bukan pemilu perang isu SARA dan ujaran kebencian. “Mari kita bergandeng tangan untuk menyukseskan Pemilu 2019 ini agar berjalan sesuai dengan semestinya,” kata wali kota.
Sedangkan politisi PDIP, Dr H Musthofa menambahkan, pesta demokrasi sebenarnya merupakan sebuah rutunitas yang sederhana. Pesta demokrasi merupakan sebuah rutinitas lima tahunan.
Maka ia mengajak masyarakat berpikir sederhana, yakni memilih dengan melihat perilaku dan sikap calon legislatif (caleg) yang akan berkontestasi dalam Pileg 2019 nanti.
Biaya berpolitik, menurut mantan bupati Kudus ini, memang wajib. Namun biaya politik ini jangan mengabaikan kewajiban yang sesungguhnya tidak boleh ditinggalkan.
“Yakni mendorong perilaku agar masyarakat dapat menentukan piliha sesuai dengan hati nuraninya sebagai bagian dari proses edukasi dalam berpolitik,” jelasnya.
Sementara itu, acara Panggung Civil Society ini juga dihadiri unsur perwakilan parpol peserta Pileg 2019 di Jawa Tengah, perwakilan Polda Jawa Tengah, kalangan akademisi, serta elemen penyelenggara pemilu.