Selasa 25 Sep 2018 23:28 WIB

Empat Komoditi Sumbang Peningkatan Inflasi di DIY

Tantangan pengendalian inflasi pangan adalah ketergantungan kepada daerah lain.

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Yusuf Assidiq
 Rakor Koordinasi Daerah Tim Pengendalian Inflasi Daerah DIY dengan tema 'Mendorong Kerja Sama Antardaerah dan Efektivitas Tata Niaga dalam Stabilitas Inflasi Pangan di DIY'.
Rakor Koordinasi Daerah Tim Pengendalian Inflasi Daerah DIY dengan tema 'Mendorong Kerja Sama Antardaerah dan Efektivitas Tata Niaga dalam Stabilitas Inflasi Pangan di DIY'.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Inflasi pangan di DIY cenderung mengalami peningkatan sejak akhir 2017 hingga Agustus 2018. Inflasi pangan di DIY tercatat 5,83 persen (yoy), cenderung lebih tinggi dibandingkan pencapaian periode yang sama di 2017 yang mengalami deflasi.

Hal itu disampaikan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya yang dibacakan Wakil Gubernur DIY Paku Alam X dalam pembukaan Rakor Koordinasi Daerah Tim Pengendalian Inflasi Daerah DIY dengan tema 'Mendorong Kerja Sama Antar Daerah dan Efektivitas Tata Niaga dalam Stabilitas Inflasi Pangan di DIY' yang berlangsung di Grand Inna Malioboro Hotel Yogyakarta, Selasa (25/9).

Sultan melanjutkan, pencapaian inflasi volatile food (VF) atau inflasi pangan DIY pada Agustus 2018 mencapai 5,92 persen (yoy), cenderung lebih tinggi dari target Vf nasional sebesar empat plus minus 1 (yo). "Ada empat komoditi utama yakni beras, daging ayam, telur ayam, dan cabai merah sebagai penyumbang peningkatan inflasi pangan dengan bobot keseluruhan sebesar 29 persen," katanya.

Bahkan komoditas beras menjadi penting, ujarnya, karena memiliki bobot terbesar yaitu 18,8 persen dari inflasi pangan. Menurut Sultan, salah satu tantangan pengendalian inflasi pangan di DIY adalah ketergantungan kepada daerah lain walaupun mengalami surplus.

"DIY mengalami surplus beberapa komoditas pangan seperti beras dan cabai merah, tetapi pasokan pada pasar-pasar utama di DIY berasal dari luar daerah di sekitar DIY seperti Klaten dan Muntilan," jelasnya.

Hal ini dapat terjadi karena pedagang besar dan distributor pangan dari luar daerah membeli hasil pertanian DIY untuk kemudian memasok kembali ke DIY. Di sisi lain, menurut penelitian Bank Indonesia DIY, pedagang eceran di pasar-pasar utama DIY sangat tergantung dari pemasok, dan mereka cenderung tidak memiliki posisi tawar yang baik terhadap pedagang besar maupun distributor.

Dalam konteks tersebut, Sultan mengaku sangat mengapresiasi TPID DIY dan OPD terkait yang telah melakukan penguatan tata niaga pangan. Selain itu juga melakukan pembenahan distribusi dan pemasaran yang difokuskan pada penerapan sistem logistik dan distribusi yang terintegrasi.

"Termasuk koordinasi antardaerah dan pengembangan reference store seperti Segoro Amarto, Toko Tani Indonesia, dan Rumah Pangan Kita sejalan dengan hasil Rakorda TPID 2017. Bahkan Bulog telah mengoptimal perannya sebagai lembaga penyangga untuk urusan stabilisasi harga pangan dan penyediaan pasokan komoditas strategis," kata Sultan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement