Rabu 26 Sep 2018 00:11 WIB

Putusan MA dan Nalar Anti-Korupsi

Perdebatan soal boleh tidaknya mantan napi korupsi menjadi perdebatan.

38 Caleg Eks Napi Korupsi
RILIS CALEG ICW: Seorang pria memperhatikan Daftar Caleg Sementara dari situs milik KPU di Jakarta, Ahad (30/6). Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 36 calon anggota legislatif yang diragukan komitmennya terhadap upaya pemberantasan korupsi.

KPU dan parpol sebagai pilar utama

Isu tentang boleh tidaknya mantan napi korupsi menjadi caleg dalam Pemilu telah menyata menjadi perdebatan panjang dengan berbagai argumentasi yang mendasari masing-masing pendapat dan kepentingan. Ketika semuanya memilih dan sepakat dengan jalur hukum dalam hal ini putusan Mahkamah Agung sebagai jalan penengah, maka apapun putusannya harus dihormati.

Agenda selanjutnya adalah bagaimana memperbaiki tata hukum perundang-undangan kepemiluan yang pada satu sisi dapat mendorong upaya dan semangat pemberantasan korupsi. Sehingga pada titik yang bersamaan tidak melahirkan ketidakadilan dan pelanggaran hukum dan perundang-undangan.

Dalam konteks menyeleksi calon legislatif yang berkualitas termasuk memfilter adanya mantan napi korupsi dan mantan napi lainnya, maka ranah tersebut murni menjadi kewenangan partai politik sebagai pilar utama di DPR dan KPU sebagai pelaksana tekhnis penjaringan calon legislatif. Secara substansi PKPU Nomor 20 tahun 2017 telah menuju pada upaya penguatan sistem seleksi caleg yang berkualitas.

KPU dengan aturan tersebut telah berusaha mendeskripsikan konsep kata 'demokratis' dalam proses penyusunan bakal calon oleh Partai Politik (Pasal 4 ayat 2 dan 3). Salah satu itu utama pemilu selama ini adalah soal perbaikan system pencalonan oleh partai politik, karena inilah yang menjadi muara dari sebagian besar kondisi politik di Indonesia.

Dalam PKPU tersebut kata demokratis diejawantahkan dalam bentuk larangan maju sebagai caleg bagi mantan napi. Implementasi kata demokratis dalam bentuk larangan tersebut oleh Mahkamah Agung dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang, Putusan Mahkamah Konstitusi dan UUD 1945.

Sehingga ke depan, KPU dan partai politik dan didukung masyarakat yang peduli dengan gerakan pemberantasan korupsi, mestinya duduk bersama mendiskusikan tentang rumusan dan pola rekruitmen yang demokratis yang menggambarkan semangat antikorupsi. Dengan cara inilah kita dapat meluruskan nalar publik tentang pemberantasan korupsi.

Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif hanya berwenang memastikan seluruh upaya yang dilakukan partai politik dan KPU tidak ada yang menyimpang dari hukum dan perundang-undangan. Sudah selayaknya publik bisa memahami MA yang terdiri dari para hakim dan hakim agung yang setiap hari berusaha menghadirkan nilai-nilai keadilan, sesungguhnya tidak memiliki ambisi dan kepentingan apapun terhadap persoalan-persoalan politik termasuk dalam menguji sengketa yang bertendensi politik.

Tidak pernah ada niatan untuk mencari popularitas diri. Hakim dalam memutus permasalahan hukum masyarakat pada hakekatnya senantiasa dilandasi dengan ketulusan dan keikhlasan dalam mematuhi asas dan sistem hukum yang berlaku.

Catatan sederhana ini bukan dalam konteks membela putusan permohonan HUM soal mantan napi karena sejatinya dalam nalar seorang hakim, jika putusannya dipersoalkan publik, sang Hakim tetap diam tidak membela diri karena sangat yakin dengan kebenaran yang telah diletakan dalam putusannya. Biarkan putusan yang berbicara, itulah prinsipnya.

Namun tradisi hakim diam terhadap putusannya (silent corps) bukan isyarat sebagai ruang terbuka bagi pihak-pihak yang tidak setuju dengan putusan hakim itu, kemudian dapat dengan bebas melakukan penggiringan opini yang merusak kewibawaan dan kehormatan hakim. Kritik dan evaluasi terhadap putusan pengadilan dapat dilakukan secara terhormat dan ilmiah dengan melakukan uji eksaminasi.

Baca Juga: Standar Ganda Pengawalan Korupsi

Pilihan tersebut lebih berwibawa dan bermartabat dalam memberikan pendidikan politik dan hukum bagi masyarakat di tengah hiruk politik yang makin panas dan tajam. Reaksi terhadap putusan MA dalam kasus caleg eks napi ini menunjukkan proses menuju kedewasaan dan kematangan bernegara hukum masih cukup panjang. Semoga perjalanan negara hukum modern ke depan senantiasa disertai tradisi menghormati hakim dan putusannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement