Senin 24 Sep 2018 18:04 WIB

Pemilu Maladewa dan Pudarnya Pengaruh Cina

Oposisi mengkritik utang besar Maladewa terhadap Cina.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Maladewa, Abdulla Yameen
Foto:

Sebelumnya, sejumlah politisi oposisi di Maladewa telah dipenjarakan di bawah pimpinan Yameen oleh tudingan korupsi, kolusi atau mengkhianati negara. Sebelum pemungutan suara, AS serta Uni Eropa mengancam sanksi bagi Maladewa, jika situasi demokratis di sana tidak membaik.

Maladewa terdiri dari 26 pulau koral dan 1.192 pulau. Lebih dari 400 ribu penduduk tinggal di kepulauan yang terkenal sebagai surga dunia paling indah di Samudera Hindia.

Masa depan warganya pun tergantung pada keseimbangan alam. Pariwisata di sana merupakan salah satu bagian penting dari ekonomi pembangunan negara yang mayoritas penduduk Muslim ini.

Republik Maladewa, nama resmi pulau termungil di Asia ini, berada di sebelah barat daya Sri Lanka dan India. Luas daratan seluas 298 kilometer persegi setara kurang dari setengah luas DKI Jakarta.

Sementara, negara kepulauan ini telah dicengkeram oleh pergolakan politik dalam beberapa tahun terakhir. Pada Februari 2018, Mahkamah Agung Maladewa membatalkan putusan terhadap sembilan tokoh oposisi, yang di antaranya, mantan presiden periode sebelum Yameen, Mohamed Nasheed.

Putusan dibatalkan setelah Presiden Yameen mengumumkan keadaan darurat dan memerintahkan penangkapan dua hakim.

Langkah tersebut memperlihatkan kepada dunia, bahwa Presiden Yameen tidak menolerir setiap penolakan atau protes terhadap pemerintahannya. Hal itu memicu kritik dari Washington, London dan New Delhi.

Sejumlah pejabat di India, sementara itu, menyerukan intervensi di negara kecil ini. Nasheed meminta pertolongan intervensi militer dengan negara tetangga yang pernah dilihat secara tegas dalam lingkup pengaruh pada masa pemerintahannya.

Dalam sebuah pernyataan setelah kemenangan Solih pada perhitungan cepat, Kementerian Urusan Luar Negeri India mengatakan, pemilihan Maladewa menandai kekuatan demokrasi dan cerminan komitmen tegas terhadap nilai-nilai demokrasi dan supremasi hukum.

Utang ke Cina

Di tengah citra Maladewa sebagai negara pariwisata kelas dunia, mantan Presiden Nasheed membuat pernyataan mengejutkan pada Februari lalu. Ia menyebut negara itu berutang besar pada Cina, dan utang itu bisa membawa petaka. Maladewa terancam diambil alih pemerintahan Beijing pada awal 2019 nanti.

“Kami tidak dapat membayar utang sebesar 1,5 miliar sampai 2 miliar dolar kepada Cina,” kata Nasheed kepada media Jepang, Februari lalu seperti dikutip Nikkei Asian Review.

Hingga Januari kemarin, surat utang Maladewa yang dipegang Cina sudah menyumbang hampir 80 persen dari total utang luar negeri Maladewa.

Nasheed mengkritik pola pembangunan infrastruktur gila-gilaan yang digenjot oleh Presiden Yameen. Menurutnya itu hanya sebuah  proyek yang tak banyak berdampak pada peningkatan ekonomi kerakyatan. Dari situ, lebih banyak turis dari Cina kini mengunjungi Maladewa daripada dari negara lain.

Sebelum pemungutan suara, para analis mengatakan, Beijing takut ada perubahan dalam pemerintahan yang dapat mempengaruhi kepentingannya. India, sementara itu, dipandang lebih memilih oposisi, karena kekhawatiran-nya tentang hubungan nyaman dari Yameen dengan pesaing regionalnya.

Lebih dari seperempat juta orang memenuhi syarat untuk memilih di 400 tempat pemungutan suara pada Ahad (24/9) kemarin. Presiden pejawat Yameen (59 tahun) berjuang untuk dua priodenya kali ini.

Ratusan warga terlihat antre di luar Tempat Pemungutan Suara (TPS) di ibukota Male. "Saya memilih untuk mengembalikan kesalahan yang saya buat pada 2013. Saya memilih untuk membebaskan Presiden Maumoon (Gayoom)," ujar Nazima Hassan (44 tahun)seperti dikutip laman Reuters.

Abdul Rasheed Husain (46 tahun) mengatakan, ia memberikan suara untuk Yameen untuk memajukan Maladewa dalam langkah ke depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement