Jumat 21 Sep 2018 06:31 WIB

Ulama, Intelektual, dan Politik

Ulama memiliki banyak modal dan kekuatan untuk membangun kuasa,

Pejuang Islam (ilustrasi)
Foto: Unstranslation.com
Pejuang Islam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Syamsul Arifin, Guru Besar Sosiologi Agama dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tidak hanya ditandai pertarungan ulang antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Namun, yang tak kalah menariknya adalah terpilihnya KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden, yang berpasangan dengan Jokowi.

Menarik karena pertama kalinya dalam sejarah pilpres langsung, ulama memiliki daya pikat kuat. Pada Pilpres 2004, ada ulama ikut bertarung, yaitu KH Hasyim Muzadi dan Gus Solah (Salahuddin Wahid), tapi daya pikat dan resonansinya tak sedahsyat Pilpres 2019.

Andai tidak menolak, sangat mungkin Ustaz Abdul Somad (UAS) berpasangan dengan Prabowo Subianto. Sempat juga Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri yang jebolan doktoral Universitas Madinah, Arab Saudi, diusulkan menjadi cawapres.

Namun, karena elektabilitasnya kurang signifikan, akhirnya dia tak terpilih. Keterlibatan ulama dalam kontestasi politik kekuasaan, baik langsung maupun tidak langsung, menunjukkan adanya kapital pada ulama yang mengundang daya panggil dari publik.

Di sisi lain, ini bisa jadi petunjuk betapa agama sulit disapih dari politik atau sebaliknya, politik sulit dilepaskan dari agama. Agama dengan beragam unsurnya, bisa mendongkrak sentimen pemilih dengan preferensi keagamaan yang kuat.

Tak ada yang perlu dipersalahkan soal keterlibatan ulama dalam politik karena setiap orang pada takaran tertentu, memiliki hasrat berkuasa sebagai manifestasi watak alamiah manusia yang dikatakan filsuf Yunani klasik, Aristoteles merupakan zoon politicon.

Ulama memiliki sumber untuk membangun kuasa. Otoritas keilmuan sekadar salah satu sumber yang bisa dikapitalisasi. Ulama memiliki sumber kekuasaan lainnya yang Max Weber sebut dengan otoritas kharismatik dan otoritas tradisional.

Otoritas pertama merupakan kualitas batiniah yang tidak bisa dibagi kepada orang lain. Otoritas pertama ini diperkokoh legitimasi teologis dan “historis”, yakni ulama sebagai waratsatul anbiya, ulama sebagai pewaris para nabi.

Tak heran, dengan status demikian, ulama menurut analisis Kuntowijoyo dalam, Muslim Tanpa Masjid, Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendenal (2001) selalu memiliki peran penting di ranah sosial kendati masyarakat diterpa perubahan sejak pra-industrial, semi-industrial, industrial, bahkan hingga era revolusi industri 4.0 ini.

Ulama juga memiliki otoritas tradisional. Otoritas keulamaan seseorang, di samping karena keilmuannya, juga dibentuk karena faktor genealogis dengan generasi terdahulu yang memiliki ketokohan sebagai ulama.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement