REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Ahmad Fikri Noor, Lida Puspaningtyas
JAKARTA -- Memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina membuat nilai tukar rupiah kembali tertekan. Rupiah melemah hingga ke level Rp 14.908 per dolar AS berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, Selasa (18/9).
Kurs rupiah yang nyaris menyentuh Rp 15 ribu per dolar AS pada awal September sempat menguat menjadi Rp 14.700 per dolar AS pada pertengahan pekan lalu. Pasar keuangan merespons positif sejumlah kebijakan pemerintah untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan.
Bank Indonesia (BI) menilai pelemahan rupiah pada perdagangan Selasa merupakan dampak eksternal setelah pengumuman dari Presiden AS Donald Trump bahwa AS akan mengenakan bea impor 10 persen atas barang-barang dari Cina per 24 September 2018. Episode baru dari perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia itu menyulut depresiasi pada nilai mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Cina juga telah berulang kali menegaskan akan membalas segala tindakan pengenaan bea masuk olehAS. "Sentimen itu (perang dagang) yang paling berperan, risiko AS-Cina telah mengena mata uang negara-negara berkembang," kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Jakarta, kemarin.
Nilai bea impor yang akan dikenakan Trump itu senilai 200 miliar dolar AS atau hampir Rp 3.000 triliun. Pada awal 2019, terdapat kemungkinan AS akan kembali mengerek bea impor tersebut menjadi 25 persen.
Dampak eksternal dari perang dagang antardua negara adikuasa ini merupakan hal yang paling sulit dikalkulasi oleh bank-bank sentral negara berkembang untuk menyusun kebijakan antisipatif guna menjaga stabilitas perekonomian. Dody berjanji bank sentral akan tetap berada di pasar untuk melakukan intervensi nilai kurs secara terukur. "Mudah-mudahan tekanannya tidak terlalu besar," kata dia.
Tekanan dari perang dagang ini juga menjadi salah satu penyulut tekanan eksternal yang akan menerpa nilai rupiah selama sisa tahun ini. Selain kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, the Federal Reserve.
Dody mengatakan, BI akan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) pada 26-27 September 2018 untuk menentukan kebijakan stabilisasi. "Semua risiko kami lihat dari eksternal dan domestik, tidak ada yang baru dengan proses yang kita lakukan bulan-bulan sebelumnya," ujar dia.