Rabu 19 Sep 2018 08:24 WIB

Rupiah Melemah karena Perang Dagang AS-Cina?

Tekanan terhadap rupiah juga datang dari bank sentral AS, the Fed.

Ilustrasi Rupiah Melemah
Foto:
Penjual bahan kain menata dagangannya di Pusat Grosir Tanah Abang, Jakarta, Jumat (14/9). Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sempat mencapai Rp14.900 membuat beberapa harga bahan kain mengalami kenaikan mulai Rp 2.500-Rp 5.000 per meter.

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ahmad Fikro Noor, Lida Puspaningtyas

Memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina membuat nilai tukar rupiah kembali tertekan. Rupiah melemah hingga ke level Rp 14.908 per dolar AS berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, Selasa (18/9).

Kurs rupiah yang nyaris menyentuh Rp 15 ribu per dolar AS pada awal September sempat menguat menjadi Rp 14.700 per dolar AS pada pertengahan pekan lalu. Pasar keuangan merespons positif sejumlah kebijakan pemerintah untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan.

Bank Indonesia (BI) menilai, pelemahan rupiah pada perdagangan Selasa merupakan dampak eksternal setelah pengumuman perang dagang dari Presiden AS Donald Trump. Trump mengatakan, AS akan mengenakan bea impor 10 persen atas barang-barang dari Cina per 24 September 2018.

Episode baru dari perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia itu menyulut depresiasi pada nilai mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia. Cina juga telah berkali-kali menegaskan akan membalas segala tindakan pengenaan bea masuk oleh AS.

Baca Juga: 50 Startup Lokal Berlomba Cari Investor

"Sentimen itu (perang dagang—Red) yang paling berperan, risiko AS-Cina telah mengena mata uang negara-negara berkembang," kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Jakarta, kemarin,

Nilai bea impor yang akan dikenakan Trump itu senilai 200 miliar dolar AS atau hampir Rp 3.000 triliun. Pada awal 2018, terdapat kemungkinan AS akan kembali mengerek bea impor tersebut menjadi 25 persen.

Dampak eksternal dari perang dagang antardua negara adikuasa ini merupakan hal yang paling sulit dikalkulasi oleh bank-bank sentral negara berkembang untuk menyusun kebijakan antisipatif guna menjaga stabilitas perekonomian.

Dody berjanji bank sentral akan tetap berada di pasar untuk melakukan intervensi nilai kurs secara terukur. "Mudah-mudahan tekanannya tidak terlalu besar," kata dia.

Tekanan dari perang dagang ini juga menjadi salah satu penyulut tekanan eksternal yang akan menerpa nilai rupiah selama sisa tahun ini, selain kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, the Federal Reserve.

Dody mengatakan, BI akan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) pada 26-27 September 2018 untuk menentukan kebijakan stabilisasi. "Semua risiko kami lihat dari eksternal dan domestik, tidak ada yang baru dengan proses yang kita lakukan bulan-bulan sebelumnya," ujar dia.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah akan menekan pertumbuhan impor. "Kami estimasikan, impor tahun ini hanya tumbuh 11 persen," kata Suahasil di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa.

Suahasil mengatakan, pertumbuhan impor sempat mencapai 15,17 persen pada kuartal kedua 2018. Menurut dia, impor akan terus turun karena dampak pelemahan nilai tukar dan juga serangkaian kebijakan pengendalian impor yang dilakukan pemerintah.

Untuk tahun depan, Suahasil memproyeksikan pertumbuhan impor akan lebih rendah lagi menjadi 7,1 persen. "Karena rupiah melemah, jadi pertumbuhan impornya melemah. Impor tetap tumbuh positif tapi lebih rendah," ujar Suahasil.

Kemarin, pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI menyetujui asumsi kurs dalam RAPBN 2019 sebesar Rp 14.500 per dolar AS. Jumlah itu ebih tinggi dari asumsi yang diajukan pemerintah dalam nota keuangan yang sebesar Rp 14.400 per dolar AS.

"Kami cukup nyaman di level Rp 14.500 hingga Rp 14.600 per dolar AS. Tadi ditawarkan Rp 14.500 per dolar AS dan kami terima itu," kata Suahasil. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement