REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD Fahira Idris meminta defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus menjadi salah satu tema di debat pada Pilpres 2019. Fahira menjelaskan, sejak diterapkan pada 2014 hingga saat ini, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit.
Jika pada 2017 lalu mengalami defisit sebesar Rp 9,75 triliun, menjelang akhir 2018 ini berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan diperkirakan membengkak menjadi Rp 11,2 triliun. Karena itu, ia meminta harus ada formulasi dan solusi untuk mengurai kondisi ini agar pelayanan kesehatan yang merupakan hak asasi dan hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi tidak terganggu.
"Untuk itu, para bakal calon presiden dan calon wakil presiden diharapkan adu konsep, gagasan, dan solusi agar BPJS Kesehatan tidak terus defisit,” ujar Fahira seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (18/9).
Fahira khawatir, selama kampanye Pilpres 2019 nanti, publik tidak disuguhkan perdebatan yang substantif dan mendasar terkait berbagai isu yang mendera rakyat. Ini karena, jika melihat gelagat yang terjadi saat ini di mana perdebatan masih seputar hal-hal yang tidak substantif dan tidak penting.
Ia menambahkan, tentu semua pihak miris melihat di banyak rumah sakit di berbagai daerah sampai harus memasang spanduk pengumuman bahwa BPJS Kesehatan menunggak klaim rumah sakit. "Ini persoalan serius, harusnya kondisi-kondisi aktual seperti ini jadi tema perdebatan saat ini. Namun, yang jadi ajang perdebatan malah penyebutan istilah ‘emak-emak’ dan klaim merasa kelompoknya paling pancasialis,” katanya.
Menurut Fahira, boleh saja pemerintah beralasan salah satu sebab BPJS Kesehatan terus defisit adalah karena iuran saat ini belum sesuai dengan perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Tetapi, harus diakui bahwa pembangunan kesehatan nasional yang belum maksimal dan optimal adalah penyumbang terbesar kenapa defisit BPJS Kesehatan semakin membengkak dari tahun ke tahun.
"Ada program namanya Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang sangat bagus, tetapi banyak masyarakat yang tidak terinformasikan apalagi mengimplementasikannya. Padahal jika konsisten, program promotif dan preventif adalah solusi agar anggaran kesehatan tidak membengkak,” katanya.
Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo mengatakan perkiraan defisit BPJS Kesehatan pada 2018 mencapai Rp 10,98 triliun. Angka ini diperoleh setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Defisit yang disampaikan saat itu Rp 16,58 triliun. Setelah BPKP melakukan review itu ada koreksi, koreksinya sebesar Rp 5,6 triliun. Sehingga hasil review BPKP defisit BPJS sebesar sekitar 10,98 triliun," kata Mardiasmo, dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Senin (17/9).
Mardiasmo mengatakan, koreksi ini terjadi karena adanya bauran kebijakan yang belum dihitung oleh BPJS Kesehatan. Menanggapi hal ini, Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan jumlah perkiraan defisit adalah hal yang direncanakan di awal. Oleh karena itu, seiring berjalannya waktu, ada perubahan yang terjadi.
"Defisit yang terjadi ini bukan tiba-tiba. Defisit ini direncanakan. Setiap tahun menyiapkan rencana kerja. Jadi awal 2018 kita sudah membuat akan ada defisit sebesar Rp 16,5 T," kata Fachmi, dalam kesempatan yang sama.