Senin 17 Sep 2018 14:59 WIB

BPJS Kesehatan Bantah Hilangkan Layanan Operasi Katarak

Operasi katarak masih tetap dijamin namun diutamakan yang darurat.

Dokter melakukan pemeriksaan mata sebelum operasi katarak.(Ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Dokter melakukan pemeriksaan mata sebelum operasi katarak.(Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Beberapa waktu belakangan beredar berita, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menghilangkan sejumlah layanannya, termasuk operasi katarak. Hal tersebut dibantah BPJS Kesehatan.

Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan dalam siaran persnya, Senin (17/9), operasi katarak masih tetap dijamin namun diutamakan yang darurat. Sementara untuk yang belum tahap keharusan akan dijadwalkan.

"Operasi katarak ditanggung untuk penglihatan yang harusnya bisa melihat dalam jarak 18 meter namun kemudian hanya bisa melihat dalam jarak 6 meter atau kurang (visus kurang dari dan atau sama dengan 6/18). Ini berarti, mata yang dioperasi sudah betul-betul harus dioperasi karena "pengerasan lensa" mata. Yang belum tahap keharusan, maka operasinya bisa dijadwalkan kecuali apabila ada hal emergensi," ujar Fahmi.

Fahmi membeberkan biaya operasi katarak dalam setahun sebesar Rp 2,6 triliun. Angka tersebut bahkan melebihi biaya cuci darah setahun yakni Rp 2,3 triliun. Artinya, kalau ada pilihan prioritas biaya yang ada tentu diprioritaskan untuk kasus yang menyangkut nyawa seperti gagal ginjal.

"Ini apabila kita terpaksa membandingkannya," tegas Fahmi.

Pelayanan fisioterapi juga menurutnya tetap dijamin dan tak ada penghilangan. Yang ada menurutnya adalah, pengaturan penjadwalan dan frekuensi tindakan yang ditanggung BPJS Kesehatan.

Pelayanan fisioterapi, menurut Fahmi, diatur maksimal dua kali sepekan atau delapan kali sebulan dalam kurun satu siklus. "Apakah bisa lebih? Jawabannya bisa, tergantung evaluasi oleh dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi medik," ujarnya.

Fahmi menyatakan biaya pelayanan fisioterapi yang belum diatur dalam setahun menyerap biaya hampir satu triliun rupiah. Ini sama dengan biaya kumpulan dari tiga penyakit yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi, dalam hal ini thalasemia, siriosis hati, dan kanker darah atau leukemia.

Sementara terkait bayi sehat atau normal pada pelayanan sectio atau caesar tetap dijamin BPJS Kesehatan. "Tidak ada penghilangan. Yang ada adalah pembayarannya dalam satu kesatuan dalam persalinan sectio, sebagai konsekuensi rawat gabung (room in). Tidak ada penghilangan peran dokter anak di sini," ungkapnya.

Dalam pengaturan ini, tidak ada hal baru sama sekali. Pengaturan ini lebih mengacu kepada kondisi sebelum tahun 2017, bahwa dari sistem biaya sectio yang dibayarkan, manajemen rumah sakit yang kemudian mengatur jasa medik untuk dokter obgyn dan jasa medik untuk dokter anak. Untuk kondisi ini memang membutuhkan penyesuaian lebih lanjut atas tarif CBGs persalinan sectio dengan bayi lahir normal.

Pelayanan di gawat darurat juga tetap dijamin. Berita yang sangat salah, menurut Fahmi, apabila ada info bahwa ada penghilangan pembiayaan gawat darurat oleh BPJS Kesehatan.

Yang ada menurutnya adalah, pengaturan lebih lanjut. Dari data yang dimiliki BPJS Kesehatan, sebanyak 25 persen masalah kesehatan di UGD ternyata bukan kasus gawat darurat.

Ada 144 diagnosis yang seharusnya bisa diatasi oleh puskesmas atau klinik pratama atau dokter umum praktik perorangan. Sehingga salah besar kalau diberitakan BPJS Kesehatan tidak menanggung kasus gawat darurat.

"BPJSK terus mengedukasi semua pihak bahwa, false emergency seharusnya tidak ada lagi di UGD rumah sakit. Kondisi yang benar-benar emergensi yang negara hadir menanggung agar semuanya sesuai ketentuan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement