Sabtu 15 Sep 2018 06:31 WIB

Sandi-Erick: Perubahan Politik?

Kemunculan Erick dan Sandi makin mereduksi peran parpol dalam menciptakan pemimpin

Fachry Ali
Fachry Ali

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fachry Ali, Cendekiawan Muslim

Karena bertemu sekali-kali, saya tak kenal mendalam dengan Sandiaga Uno dan Erick Thohir. Pertama kali bertemu Sandi, rasanya, pada 2001. Di Makkah, saya melihat serombongan anak muda bersedia mencukur rambut hingga botak. Salah satunya adalah Sandi.

Kami, pada 2001 itu, memang satu rombongan haji. Erick? Rasanya kami pernah menjadi narasumber ANTV untuk acara “Sahur” sekitar 2002. Saya sempat berseloroh bahwa “Hanamasa”, restoran Jepang miliknya, berarti “tidak masak” di dalam bahasa Aceh.

Erick tertawa sambil mengundang saya makan di situ, yang belum terlaksana hingga kini. Sebagaimana dikenal publik, kedua tokoh muda itu adalah pengusaha.

Pada sebuah pesta pernikahan putri kawan saya, Hermanto Dardak, penulis bertemu Sandi, empat atau lima tahun lalu. Disaksikan Emil Dardak (kini wagub terpilih Jatim), saya menyarankan Sandi masuk ke dalam dunia politik sejak awal.

“Indonesia,” ujar saya, “perlu pemimpin melek dalam ilmu pengetahuan. Di masa depan,” lanjut saya, “kita tidak bisa lagi memilih pemimpin seperti membeli kucing dalam karung.” Saya diingatkan percakapan ini oleh Emil Dardak dua kali.

Baca Juga: Sandiaga Ungkap Alasan Prabowo Pilih Kwik Kian Gie

Pertama, ketika Anies Baswedan-Sandi menang dalam pertarungan gubernur DKI Jakarta. Kedua, ketika Sandi dipilih Prabowo sebagai cawapresnya. Untuk yang terakhir ini, pada mulanya saya tak percaya.

Saya tak pernah bertemu Erick setelah yang pertama. Berita mencolok yang saya dengar usahanya makin berkembang. Ini membuat ia mampu membeli klub sepak bola terkenal Italia. Lalu, oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditunjuk menjadi ketua Panitia Asian Games 2018.

Memiliki klub sepak bola di Eropa dan berhasil “gemilang” menyelenggarakan acara olahraga tingkat Asia, membuktikan adanya kepiawaian tertentu pada Erick. Ini tidak hanya terbatas pada kemampuan manajerial, juga adaptasinya pada visi mondial.

Di atas itu, kemampuannya mencuri celah kreatif dalam struktur pertarungan mondial itu. Harus diakui, jarang ada tokoh muda Indonesia memiliki kemampuan tingkat ini.

Ringkasnya, Sandi dan Erick adalah dua tokoh muda Indonesia yang melangkah ke dalam dunia baru bisnis, di mana model yang dikenakan bukan merupakan warisan generasi bisnis sebelumnya. Tiba-tiba, keduanya memasuki dunia politik dengan cara “dramatik”.

Mengapa “dramatik”? Karena keduanya memasuki dunia itu tanpa jejak sebelumnya. Mendahului Erick, Sandi terjun dengan “sukses” ke dalam dunia politik sebagai calon wagub DKI Jakarta dan melalui pertarungan “seru” mengalahkan lawan yang telah kawakan dalam dunia politik. Setahun kemudian, langkahnya kian “dramatik” dengan menjadi cawapres bagi Prabowo Subianto.

Erick “menyusul” langkah Sandi ─setelah menggoreskan sukses besar dalam kerja teknikal: Ketua Panitia Asian Games─ dengan menjadi ketua pemenangan pilpres untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement