Jumat 14 Sep 2018 21:02 WIB

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan MAKI

KPK digugat praperadilan atas kasus Century dan BLBI.

Rep: Dian Fath R/ Red: Indira Rezkisari
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah memberikan keterangan pers terkait kasus suap Bupati Kebumen di gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/1).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah memberikan keterangan pers terkait kasus suap Bupati Kebumen di gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digugat dua kasus praperadilan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ihwal. Kedua kasus praperadilan itu berkaitan dengan skandal Bank Century dan perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengungkapkan, pihaknya telah menerima panggilan dari PN Jaksel untuk jadwal sidang Senin, 24 September 2018. Dalil yang diajukan adalah penghentian penyidikan secara materil.

"KPK juga disebut tidak melakukan upaya hukum memadai untuk memanggil Sjamsul Nursalim seperti Cekal, DPO (Daftar Pencarian Orang) dan red notice terhadap Sjamsul Nursalim dan istri," kata Febri di Gedung KPK Jakarta, Jumat (14/9).

Dalam gugatan tersebut, KPK diminta untuk segera menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Menanggapi gugatan tersebut, KPK akan mempelajari poin-poin di praperadilan tersebut dan menentukan langkah lebih lanjut yang dapat dilakukan.

Namun, sambung Febri, jika dalam permohonan praperadilan tersebut terdapat sejumlah kekeliruan, seperti mengatakan KPK tidak melakukan upaya hukum memadai karena tidak melakukan cekal, DPO dan red notice, artinya pemohon tidak memahami bahwa KPK tidak berwenang melakukan cekal (cegah tangkal).

"Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK mengatur kewenangan KPK adalah memerintahkan pada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. Tentu tidak masuk akal jika KPK menggunakan kewenangan pencegahan ke luar negeri ini untuk orang yang diketahui berada di luar negeri," terang Febri.

Demikian juga dengan DPO dan red notice. Menurut Febri, semestinya dipahami, DPO hanya digunakan KPK terhadap tersangka.

Sedangkan dalam kasus BLBI dengan tersangka Syafrudin A. Temenggung saat itu Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dalam kapasitas sebagai saksi. Pemanggilan secara patut sudah dilakukan 2 kali dan bahkan KPK telah bekerjasama dengan otoritas di Singapura untuk menyampaikan panggilan tersebut pada para saksi. "Namun tentu KPK memiliki keterbatasan kewenangan jika posisi saksi berada di luar negeri," ucapnya.

KPK, lanjut Febri, tentu akan menghadapi setiap praperadilan yang diajukan dengan strategi yang tepat. Penjelasan lebih sistematis dengan dukungan bukti-bukti akan dilakukan di persidangan nanti.

"Pada prinsipnya, sepanjang ada bukti permulaan yang cukup maka penyidikan baru dapat dilakukan. Akan lebih baik jika Pemohon sebagai bagian dari masyarakat ikut mengawal proses persidangan kasus BLBI yang sudah sampai di penghujung saat ini dan tinggal menunggu putusan hakim," ucap Febri.

Sehingga, tambah Febri, tidak benar bila ada penghentian penyidikan. Selain UU menegaskan KPK tidak dapat menghentikan penyidikan, justru penyidikan kasus BLBI telah berkembang hingga proses persidangan di tingkat pertama.

"Terkait dengan pengembangan pada pelaku lain, kami akan mencermati terlebih dahulu fakta persidangan dan pertimbangan hakim nantinya. KPK menegaskan sejak awal berkomitmen untuk menangani kasus BLBI. Sejak tahun 2013 penyelidikan telah kami lakukan scr hati2 dan solid untuk membongkar kasus ini," tegas Febri.

Sebelumnya dalam siaran pers MAKI, gugatan pertama yang mereka layangkan adalah agar KPK segera menetapkan Boediono dan kawan-kawan sebagai tersangka Kasus Century. Untuk gugatan praperadilan kedua, MAKI meminta KPK menetapkan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka di kasus SKL BLBI pada BDNI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement