REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Pasifik untuk Tembakau dan Kesehatan ke-12 (APACT12th) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 13-15 September 2018. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemerintah, pegiat pengendalian tembakau dan jurnalis di negara-negara Asia Pasifik memperkuat komitmen untuk mencegah penyebaran epidemi tembakau.
Senior Policy Advisor WHO, Judith Mackay, mengimbau pemerintah negara-negara di dunia, khususnya negara-negara dengan jumlah perokok tinggi untuk memperkuat strategi nasional menanggulangi epidemi rokok. Salah satu caranya adalah meningkatkan harga dan pajak rokok.
Mackay mengatakan tingkatan merokok di kalangan perempuan dahulu masih jauh lebih rendah dibanding laki-laki. Sekarang kondisi tersebut bergeser di mana perokok perempuan, remaja, dan anak meningkat signifikan, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
"Industri tembakau menggunakan banyak cara untuk menarget perokok perempuan, misalnya lewat kampanye dan iklan rokok. Kecanduan rokok adalah satu bentuk perbudakan bagi kaum perempuan dan anak-anak," kata Mackay di Hotel Hilton Nusa Dua, Kamis (13/9).
Konsumsi tembakau berdampak buruk pada ekonomi, khususnya perempuan. Mackay mencontohkan biaya perawatan kesehatan yang harus dikeluarkan akibat penyakit-penyakit yang berhubungan dengan tembakau. Ada juga pengalihan pendapatan keluarga yang seharusnya untuk makanan, minuman, dan pendidikan menjadi konsumsi tembakau. Rokok membuat keluarga miskin.
Sejumlah kebijakan diterapkan negara-negara Asia Pasifik untuk mencegah penyebaran epidemi tembakau. Australia misalnya menerapkan kebijakan paket tembakau polos, sementara memaksimalkan pajak tembakau dan cukai untuk mendukung program-program kesehatan.
WHO memperkirakan tujuh juta orang setiap tahunnya meninggal akibat mengonsumsi tembakau. Tanpa intervensi masif, lembaga PBB ini memperkirakan satu miliar orang akan meninggal karena rokok pada 2030.
Menteri Kesehatan RI, Nina Farid Moeloek mengatakan statistik di atas bukan hanya angka. Di balik setiap digit angka itu bermakna kehidupan ayah dan ibu, anak-anak, saudara laki-laki dan perempuan, serta teman.
"Negara-negara Asia Pasifik masih belum terhindar dari dampak bencana konsumsi tembakau. Kami sadar negara kita berada di titik ini dengan budaya merokok yang dikomersialkan oleh pelaku industri tembakau selama ratusan tahun," kata Nila.
Nila mengakui Indonesia masih menghadapi ancaman serius dari konsumsi tembakau yang tinggi, termasuk inisiasi merokok di kalangan anak dan remaja. Jumlah perokok kelompok usia 15-19 tahun di Indonesia meningkat dua kali lipat dari 12,7 persen pada 2001 menjadi 23,1 persen pada 2013.
Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 menunjukkan 54,8 persen laki-laki muda berusia 15-25 tahun adalah perokok. Pemerintah bersama kelompok masyarakat sipil dan mitra kesehatan tegas dan konsisten mengendalikan konsumsi tembakau.
"Kami telah mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kunci-kunci dari WHO," ujarnya.
Indonesia masih belum meratifikasi konvensi pengendalian rokok dari WHO. Proses yang masih panjang dan penuh polemik tersebut diakui Nila menjadi tantangan pemerintah saat ini. Meski demikian, pemerintah berkomitmen mencarikan solusi terbaik.
Salah satu cara yang terus didorong adalah mendorong pemerintah daerah memperbanyak Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Nila mengatakan saat ini sudah ada 309 dari 514 kabupaten kota di 19 provinsi di Indonesia yang menyediakan KTR.
Ada juga Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), dan pemasangan gambar peringatan keras merokok di bungkus rokok. Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan juga memasukkan unsur lingkungan bebas asap rokok untuk Kota Ramah Anak, sementara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merumuskan Rencana Aksi Nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan (SDG's) sebagai payung hukum untuk seluruh program yang mendukung pengendalian tembakau di Indonesia.