Kamis 13 Sep 2018 09:42 WIB

Bagaimana Potensi Indonesia Terkena Krisis Ekonomi?

Kebijakan menahan defisit transaksi berjalan tiga persen atas PDB harus dilakukan.

Petugas menata tumpukan uang rupiah dan dolar Amerika di Cash Center Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (7/3). Bank Indonesia menyatakan cadangan devisa Indonesia pada akhir Februari 2018 menurun 3,92 miliar dolar Amerika menjadi 128,06 miliar dolar Amerika dibandingkan bulan Januari 2018 sebagai imbas untuk stabilisasi nilai tukar rupiah dan pembayaran utang luar negeri.
Foto: Sigid Kurniawan/Antara
Petugas menata tumpukan uang rupiah dan dolar Amerika di Cash Center Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (7/3). Bank Indonesia menyatakan cadangan devisa Indonesia pada akhir Februari 2018 menurun 3,92 miliar dolar Amerika menjadi 128,06 miliar dolar Amerika dibandingkan bulan Januari 2018 sebagai imbas untuk stabilisasi nilai tukar rupiah dan pembayaran utang luar negeri.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Idealisa Masyarafina, Ahmad Fikri Noor

Perusahaan jasa investasi asal Jepang, Nomura Holdings Inc, merilis laporan analisis mengenai potensi terjadinya krisis nilai tukar di negara-negara berkembang. Indonesia menjadi satu dari delapan negara yang dinyatakan memiliki risiko terendah terkena krisis.

Nomura melakukan analisis dengan menggunakan model peringatan dini yang disebut Damocles. Model ini mengidentifikasi potensi krisis nilai tukar di 30 negara berkembang dengan mengkaji berbagai faktor, seperti cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga, dan kemampuan membiayai impor.

Tingkat risiko ditentukan dengan indeks 0-200. Indeks di atas 100 menunjukkan kerentanan suatu negara terhadap krisis nilai tukar dalam 12 bulan ke depan. Sedangkan, indeks di atas 150 berarti krisis dapat terjadi kapan saja.

Seperti dikutip dari laman Financial Times, Rabu (12/9), Indonesia mendapatkan skor 0. Artinya, risiko Indonesia terkena krisis nilai tukar sangat kecil. Selain Indonesia, tujuh negara berkembang lainnya yang memiliki risiko terendah terkena krisis adalah Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.

Menurut Nomura, Indonesia cukup punya daya tahan (resilient). Dengan cadangan devisa 117 miliar dolar AS dan rendahnya rasio utang terhadap PDB, Indonesia masih cukup kuat untuk menahan pelemahan nilai tukar.

Resilient dalam kamus Merriam-Webster diartikan sebagai ‘mampu menahan guncangan, mampu pulih dengan cepat, atau mudah beradaptasi terhadap perubahan’. Dana Monete Internasional (IMF) kerap menggunakan kata daya tahan ini sebagai seruan penting untuk menjaga stabilitas ekonomi global dan regional.

Sementara itu, tujuh negara berkembang yang berisiko tinggi terkena krisis nilai tukar adalah Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki, dan Ukraina.

"Ini adalah hasil yang penting, karena investor lebih berfokus pada risiko negara berkembang," demikian salah satu bunyi laporan Nomura, seperti dikutip dari Bloomberg.

Nomura adalah salah satu lembaga jasa keuangan terkemuka di Asia yang membuka cabang di 30 negara. Berasal dari Jepang, grup Nomura memiliki cakupan bisnis yang luas, mulai dari bank, riset ekonomi dan keuangan, manajer investasi, juga toko retail. Berdiri sejak 1925, perusahaan ini mengelola 50,8 triliun yen Jepang dana pihak ketiga dalam portofolio investasinya.

Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasentiantono mengatakan, Nomura memasukkan Indonesia dalam daftar delapan negara dengan risiko krisis terendah karena Pemerintah Indonesia menerapkan bauran kebijakan antara kebijakan moneter dan fiskal dalam memperkuat fundamental perekonomian.

Selain kebijakan di ranah moneter dan fiskal, sambung Tony, ada dua faktor positif yang mendukung analisis Nomura. Pertama, banyak proyek infrastruktur strategis yang menjadi daya tarik investor asing untuk menanamkan modal ke Indonesia.

Kedua, kondisi sektor perbankan relatif cukup baik. Saat ini, capital adequacy ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal perbankan berada di angka 22 persen. Hal itu menjadi garansi tidak akan terjadi krisis ekonomi yang berasal dari sektor perbankan, seperti terjadi pada krisis 1998.

”Bank masih bisa memberikan kredit dengan ekspansi 9 sampai 10 persen. Suatu hal yang tidak terjadi pada krisis 1998 lalu,” kata Tony.

Kendati demikian, Tony tetap berharap pemerintah dapat mengendalikan defisit transaksi berjalan (CAD) yang mencapai 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Caranya adalah dengan mengerem proyek-proyek berbasis impor atau yang dapat menggerus devisa negara.

“Pemerintah harus menginjak pedal rem. CAD harus dikendalikan di bawah 3 persen terhadap PDB,” ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement