REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Pertempuran menentukan di Idlib sudah berlangsung. Pasukan Suriah yang dibantu Rusia dan milisi Iran mulai membombardir daerah tersebut. Perperangan diyakini akan berlangsung dengan sengit mengingat wilayah ini merupakan basis utama oposisi terakhir di Suriah.
Kemenangan di Idlib sekaligus akan menguatkan posisi Presiden Suriah Bashar al-Assad yang selama ini menjadi sekutu utama Rusia. Sebaliknya, kekalahan akan memukul oposisi dan negara pendukung.
Turki yang selama ini menolak keberadaan Assad sepertinya tak akan tinggal diam. Meski baru-baru ini mereka menggelar pembicaraan dengan Rusia dan Iran, tapi pasukan di darat diyakini tak akan membiarkan Idlib jatuh ke tangan Assad.
Sumber Reuters, Rabu (12/9), menyebut Turki telah meningkatkan suplai senjata ke milisi oposisi untuk membantu melawan pasukan Assad.
"Mereka berjanji akan memberikan dukungan militer untuk pertarungan panjang dan berlarut-larut," ujar komandan senior Pasukan Pembebasan Suriah (FSA) yang menggelar pembicaraan secara pribadi dengan pejabat senior Turki.
Baca juga, Erdogan Seru Putin Agar Hentikan Serangan di Idlib.
Senjata dari Turki yang masuk ke Suriah dalam jumlah besar antara lain amunisi dan roket Grad. "Senjata dan amunisi ini akan membuat perang berlangsung lama dan memastikan suplai kita tak akan berhenti," katanya menambahkan.
Idlib merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Turki. Saat ini Turki telah menampung 3,5 juta pengungsi dari Suriah. Presiden Erdogan telah mengingatkan perang di Idlib akan mendorong bencana kemanusiaan dan risiko keamanan di Turki.
Komandan perang lainnya juga mengaku telah menerima amunisi dari Turki. "Tukri memastikan mereka mempunyai amunisi untuk perang jangka panjang." Namun pejabat Turki belum bisa mengonfirmasi tentang klaim tersebut.
Juru bicara OCHA David Swanson mengatakan, 30 ribu orang telah mengungsi dari Suriah barat laut dan pindah ke beberapa tempat di seluruh Idlib pada Ahad (9/9). Masih ada sekitar 2,9 juta orang yang tinggal di daerah kekuasaan oposisi di sebagian besar Provinsi Idlib dan bagian kecil yang berdekatan dengan Provinsi Latakia, Hama, dan Aleppo. Sekitar setengah dari mereka sudah mengungsi ke bagian lain Suriah.
Swanson menyebutkan, sejak pertemuan puncak pada Jumat (7/9), serangan mortir dan roket telah meningkat, terutama di perdesaan Hama utara dan daerah perdesaan Idlib selatan. Dia mengatakan, 47 persen warga sipil yang mengungsi telah pindah ke pengungsian, 29 persen tinggal dengan keluarga, 14 persen telah menetap di barak-barak informal, dan 10 persen berada di akomodasi sewaan.
Abu al-Baraa al-Hamawi, seorang pemimpin oposisi di Hama utara, mengatakan, sekitar 95 persen penduduk telah meninggalkan sejumlah desa di Provinsi Hama utara dan barat serta Provinsi Idlib selatan dalam tiga hari terakhir akibat intensifnya serangan udara.
Kesepakatan
Sementara itu, Turki, Rusia dan Iran dilaporkan telah memeroleh kesepakatan prinsip untuk pembentukan komite konstitusi. Perwakilan dari tiga negara itu bertemu Utusan Khusus Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) untuk Suriah Staffan de Mistura pada Senin dan Selasa di Jenewa.
"Selama pertemuan itu, mereka membahas pembentukan komite konstitusi dan kode etik, hal itu merupakan langkah penting dalam perjuangan mencari solusi politik untuk krisis Suriah," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki, seperti dilansir laman Hurriyet Daily News, Rabu (12/9).
Komite diperlukan untuk membuat konstitusi baru sebagai jalan tengah penyelesaian konflik di Suriah. Wakil Menteri Luar Negeri Sedat Onal mewakili Turki selama pertemuan itu.
Sebelumnya, pada 7 September, para pemimpin negara, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Iran Hassan Rouhani mengadakan pertemuan trilateral membahas Suriah di ibu kota Iran, Teheran.
Dalam pernyataan bersama, para pemimpin itu menegaskan kembali tekad mereka untuk melanjutkan upaya bersama dalam konflik di Suriah. Ketiga negara itu berdiskusi untuk mencapai penyelesaian politik dan menegaskan kembali komitmen mereka untuk membantu mendirikan dan meluncurkan komite konstitusi.
De Mistura dijadwalkan akan bertemu dengan pejabat dari Mesir, Prancis, Jerman, Yordania, Arab Saudi, Inggris, dan AS.