Rabu 12 Sep 2018 09:07 WIB

Serangan di Idlib dan Ancaman Krisis Kemanusiaan Terparah

Serangan militer ke Idlib telah dimulai sejak Selasa pekan lalu

Kondisi pusat kota Idlib, Suriah
Foto: The Guardian
Kondisi pusat kota Idlib, Suriah

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Marniati, Kamran Dikarma

Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) menilai serangan terhadap milisi oposisi bersenjata di Idlib, Suriah, dapat menjadi bencana kemanusiaan terburuk abad ke-21. Selain karena berpotensi menimbulkan korban jiwa yang lebih banyak, serangan Idlib dapat membuat masyarakat sipil telantar.

OCHA mencatat, lebih dari 30 ribu orang telah melarikan diri dari rumah mereka di Idlib. Mereka berusaha menyelamatkan diri sejak Pemerintah Suriah dan pasukan sekutu melakukan serangan, pekan lalu.

Kepala OCHA Mark Lowcock mengatakan, serangan militer terhadap kubu terakhir oposisi dapat membuat 800 ribu orang mengungsi. Dia mengatakan, OCHA sangat aktif mempersiapkan kemungkinan bahwa warga sipil dalam jumlah besar akan mengungsi ke berbagai wilayah.

Baca Juga: Arab Saudi Tolak Perubahan Status Yerusalem

"Diperlukan untuk mengatasi masalah ini agar tidak menjadi bencana kemanusiaan terburuk dengan korban jiwa terbesar abad ke-21," kata Kepala OCHA Lowcock di Jenewa, Senin (10/9).

Damaskus, yang didukung oleh Rusia dan Iran, telah mempersiapkan serangan besar untuk memulihkan Idlib dan daerah-daerah yang berdekatan dengan Suriah barat laut dari para oposisi. Pekan lalu, pesawat tempur Rusia dan Suriah melanjutkan kampanye pengeboman setelah Presiden Turki, Iran, dan Rusia gagal menyepakati gencatan senjata dalam pertemuan yang dilakukan pada Jumat (7/9).

Juru bicara OCHA David Swanson mengatakan, 30 ribu orang telah mengungsi dari Suriah barat laut dan pindah ke beberapa tempat di seluruh Idlib pada Ahad (9/9). Masih ada sekitar 2,9 juta orang yang tinggal di daerah kekuasaan oposisi di sebagian besar Provinsi Idlib dan bagian kecil yang berdekatan dengan Provinsi Latakia, Hama, dan Aleppo. Sekitar setengah dari mereka sudah mengungsi ke bagian lain Suriah.

Swanson menyebutkan, sejak pertemuan puncak pada Jumat (7/9), serangan mortir dan roket telah meningkat, terutama di perdesaan Hama utara dan daerah perdesaan Idlib selatan. Dia mengatakan, 47 persen warga sipil yang mengungsi telah pindah ke pengungsian, 29 persen tinggal dengan keluarga, 14 persen telah menetap di barak-barak informal, dan 10 persen berada di akomodasi sewaan.

Abu al-Baraa al-Hamawi, seorang pemimpin oposisi di Hama utara, mengatakan, sekitar 95 persen penduduk telah meninggalkan sejumlah desa di Provinsi Hama utara dan barat serta Provinsi Idlib selatan dalam tiga hari terakhir akibat intensifnya serangan udara.

Christy Delafield dari Mercy Corps, salah satu organisasi terbesar yang mengirim bantuan di Suriah, mengatakan, relawan mengalami kesulitan untuk mengikuti proses evakuasi warga. Selain itu, warga juga kekurangan pasokan air.

"Ada kekurangan air di banyak wilayah di tempat kami beroperasi. Pasokan air hanya cukup memenuhi kebutuhan untuk dua hingga tiga hari," kata Christy.

Titik perbatasan di sepanjang garis depan antara pemerintah dan daerah-daerah yang dikuasai oposisi telah ditutup. Penutupan akses tersebut mengakibatkan harga makanan melonjak drastis. Pihak oposisi menuduh Rusia dan sekutunya menyerang rumah sakit dan pusat pertahanan sipil untuk memaksa mereka menyerah.

Pemerintah Rusia ingin semua militan diusir dari Idlib. Rusia memastikan akan menghindari serangan terhadap warga sipil dan hanya menargetkan kelompok-kelompok radikal yang berkaitan dengan Alqaidah.

Iran juga menyatakan komitmennya untuk berhati-hati dalam melakukan serangan. Asisten Khusus Menteri Luar Negeri Iran Hossein Jaberi Anseri mengatakan, Iran sangat memperhatikan imbauan PBB terhadap potensi krisis kemanusiaan di Idlib.

"Kami juga khawatir. Namun, kami akan berusaha agar hal itu tidak terjadi," kata Jaberi.

sumber : Aljazirah, Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement