Senin 10 Sep 2018 07:55 WIB

(Masih) Seputar Kebijakan Memperkuat Rupiah

Pengendalian rupiah menjadi salah satu kunci menjaga pertumbuhan ekonomi

Sunarsip
Foto:

Namun, menjadikan faktor eksternal sebagai penyebab pelemahan nilai tukar rupiah juga bukan respons yang bijak dalam menjawab kritik terkait pelemahan rupiah saat ini. Faktanya, sejumlah negara tetangga yang kondisi ekonominya tidak lebih baik dari kita, nilai tukar mata uangnya memiliki kinerja relatif lebih baik, seperti yang ditunjukkan oleh kinerja nilai tukar baht Thailand dan ringgit Malaysia.

Kuncinya memang terletak pada kemampuan kita dalam memperkuat posisi neraca pembayaran (balance of payment). Kinerja mata uang Thailand dan Malaysia relatif tidak terpengaruh gejolak faktor eksternal karena tidak mengalami masalah dengan defisit neraca transaksi berjalannya (current account/CA).

Tanpa mengurangi pentingnya langkah moneter melalui intervensi pasar, saya berpendapat kebijakan kunci untuk memperkuat atau menstabilkan nilai tukar rupiah tetap berada pada pembenahan CA. Strateginya adalah mendorong ekspor dan mengendalikan impor agar neraca perdagangan kita surplus. Kebijakan penguatan ekspor juga perlu dibarengi dengan mengefektifkan kebijakan repatriasi devisa hasil ekspor (DHE) untuk memperkuat cadangan devisa.

Dalam rangka pengendalian impor, pemerintah akan mengurangi impor melalui penundaan sejumlah proyek infrastruktur. Langkah pengendalian impor ini positif, tetapi tetap perlu dilakukan selektif dan menyasar pada sumber masalah yang menjadi penyebab defisit CA.

Berdasarkan data BI, defisit transaksi berjalan kita melebar dari 5,7 miliar dolar AS (2,21 persen terhadap PDB) pada kuartal I 2018 menjadi 8 miliar dolar AS (3,04 persen terhadap PDB). Membengkaknya defisit CA ini terutama disebabkan tingginya defisit neraca migas, sedangkan surplus neraca nonmigas menurun.

Penyebab defisit neraca migas antara lain karena tingginya harga minyak, menurunnya lifting minyak mentah, serta tingginya impor BBM. Dengan kata lain, salah satu kunci untuk mengurangi tekanan defisit CA adalah pengendalian sisi neraca migas melalui peningkatan produksi minyak mentah dan penurunan impor BBM.

Sepertinya, sumber defisit CA kita masih berasal dari “masalah klasik yang melegenda”, yaitu neraca migas. Penyebab tingginya impor BBM karena tingginya kebutuhan BBM di dalam negeri yang tidak mampu dipenuhi oleh kilang minyak yang kita miliki.

Awal 2015 lalu, kita memiliki euforia yang tinggi bahwa pada 2019 kita akan memiliki kilang baru berkapasitas besar untuk memasok kebutuhan BBM di dalam negeri. Sayangnya, hingga kini belum satu pun kilang baru yang berhasil dibangun. Mudah-mudahan, “krisis” nilai tukar ini menyadarkan kita untuk segera mengatasi “masalah klasik yang melegenda” tersebut melalui percepatan pembangunan kilang domestik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement