REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Produsen tahu di Cibuntu, Kota Bandung, harus rela memperkecil ukuran tahu yang diproduksinya. Hal ini dilakukan akibat pelemahan rupiah atas dolar AS yang pada Jumat(7/9) pagi mencapai Rp 14.881 per dolar AS.
Pelemahan rupiah terhadap dolar berdampak pada harga kedelai yang ikut merangkak naik. Terlebih hingga kini Indonesia masih mengimpor kedelai.
"Harga kedelai naik Rp 76 ribu sampai Rp 77 ribu per kilogram dari harga awalnya Rp 68 ribu per Kg. Kemarin sempat berfultuasi, hanya turun Rp 50," ujar salah satu pemilik pabrik tahu Cibuntu, Iis Nata, ditemui di Cibuntu, Jumat (7/9).
Dengan naiknya harga kedelai sebagai bahan utama produksi tahu, produsen dibuat galau. Ada beberapa opsi yang bisa mereka lakukan yakni menaikan harga, pengurangan produksi, hingga memperkecil ukuran.
Bagi Iis, menaikan harga merupakan pilihan yang sulit. Agar tetap mendapat keuntungan serta usahanya tetap berjalan.
Ia lebih memilih mengurangi produksi dan mengurangi ukuran tahu. Menurut dia, tahu hasil produksinya biasa dibeli para pedagang dari sejumlah pasar tradisional di Bandung dan sekitarnya dengan cara pembayaran dilakukan setelah tahu habis terjual ke konsumen.
"Ya mau gimana lagi, kalau harganya dinaikkan komplainnya banyak," katanya.
Ia menjelaskan, sebelum rupiah melemah dalam satu kali produksi usaha pabrik tahu miliknya bisa menghabiskan 800 kg hingga satu ton kedelai. Namun beberapa hari terakhir ia hanya mampu sekitar 500 kg.
Pengurangan ini juga berdampak pada keuntungan yang diperoleh. Bahkan ia menyebut keuntungan menurun hingga 50 persen.
"Hampir 50 persen keuntungan kita berkurang," ujar Iis.
Dia berharap, nilai tukar rupiah atas dolar kembali stabil dalam waktu cepat,sehingga produksi tahu kembali normal dan produsen hingga pedagang tidak kembali dipusingkan. "Satu papan (tahu) tetap Rp 35 ribu, tetapi keuntungan kita dikurangi. Permintaan juga menurun sekarang sudah rata-rata menangis," tutur Iis.