Jumat 07 Sep 2018 14:24 WIB

'Melemahnya Rupiah, Menyusutnya Ukuran Tempe Kami'

Harga jual tempe tidak dinaikkan, namun ukurannya diperkecil.

Seorang pedagang, Becky (30 tahun) di Pasar Tebet Barat, Kamis (6/9) tengah mengiris tempe untuk dibungkus dengan daun pisang. Harga tempe dan tahu belum mengalami kenaikan meski rupiah terus melemah dan memicu kenaikan harga kedelai impor. Pedagang memilih untuk mengecilkan ukuran agar keuntungan yang diperoleh tetap sama.
Foto: Dedy Darmawan Nasution
Seorang pedagang, Becky (30 tahun) di Pasar Tebet Barat, Kamis (6/9) tengah mengiris tempe untuk dibungkus dengan daun pisang. Harga tempe dan tahu belum mengalami kenaikan meski rupiah terus melemah dan memicu kenaikan harga kedelai impor. Pedagang memilih untuk mengecilkan ukuran agar keuntungan yang diperoleh tetap sama.

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Sri Handayani, Ahmad Fikri Noor

Tempe pun kena dampak pelemahan rupiah atas dolar AS. Bahan baku impor pembuat tempe yang masih tinggi menjadi sebab.

Namun, sejumlah perajin tempe di daerah memilih tak menaikkan harga jual di tengah kenaikan harga kedelai impor akibat melemahnya nilai tukar rupiah. Produsen memilih memperkecil ukuran tempe demi menjaga tingkat penjualan.

Kedelai yang merupakan bahan baku tempe masih bergantung pada impor. Darnubi, perajin tempe di Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, mengatakan, harga kedelai otomatis naik jika dolar AS semakin mahal.

''Ini risiko karena kita masih bergantung pada kedelai impor," kata Dharnubi, Kamis (6/9).

Dharnubi mengaku belum mengetahui berapa besar kenaikan harga kedelai saat ini. Sebab, dia masih memiliki stok kedelai yang dibelinya dengan harga Rp 7.700 per kg.

Ia setiap hari membutuhkan 50 kg kedelai. Dari 50 kg kedelai itu, Dharnubi bisa menghasilkan sebanyak 20 lonjor tempe dengan panjang dua meter setiap lonjornya. Satu lonjor tempe bisa dipotong menjadi 10 potong. Setiap potong dijual dengan harga Rp 3.000 per kg.

Dharnubi mengaku akan memperkecil ukuran tempe apabila harga kedelai memang naik. Rencananya ia akan membuat satu lonjor tempe menjadi 12 potong dari biasanya 10 potong. ''Selain panjang tempe, ketebalan tempe juga mungkin dikurangi sedikit,'' katanya.

Menurut dia, memperkecil ukuran tempe lebih dipilih perajin sebagai siasat menghadapi kenaikan harga kedelai dibandingkan meningkatkan harga jual kepada konsumen. Pasalnya, kenaikan harga akan membuat produk mereka ditinggalkan konsumen.

''Konsumen pasti maklum dengan ukuran tempe yang lebih kecil,'' kata Darnubi.

Para perajin tempe dan tahu di Kabupaten Purwakarta turut terkena imbas atas pelemahan rupiah. Meskipun harga kedelai naik, para perajin menjamin tidak akan menaikkan harga tempe dan tahu.

Absori (38 tahun), perajin tempe asal Kampung Sukasari, Desa Cibogo Hilir, Kecamatan Plered, Purwakarta, mengatakan, imbas kenaikan dolar AS sudah sangat terasa bagi perajin tempe. Sejak sebulan terakhir, kata dia, harga kedelai sudah naik. Namun, kenaikannya belum signifikan.

"Naiknya antara Rp 100-Rp 200 per kilogram. Namun, pasti akan terasa ke depan karena dolar AS hampir mencapai Rp 15 ribu," kata Absori.

Saat ini, harga kedelai dengan kualitas super mencapai Rp 810 ribu per kuintal. Sebelumnya, hanya Rp 790 ribu per kuintal. Ada kenaikan sebesar Rp 20 ribu per kuintalnya. Sedangkan, harga kedelai dengan kualitas medium atau nomor dua Rp 780 ribu per kuintal dari sebelumnya Rp 750 ribu per kuintal.

Untuk menyiasati biaya produksi yang tinggi, Absori akan mengurangi ukuran tempe. "Kalau menaikkan harga, tidak akan. Karena kasihan pada pelanggan, tapi ukurannya akan lebih kecil daripada kondisi normal," ujarnya.

Perajin tempe lainnya, Suhaeni (55 tahun), mengaku tidak terkejut dengan naiknya harga kedelai. Menurut dia, kenaikan harga kedelai lumrah terjadi belakangan ini seiring melemahnya rupiah.

"Kami menyiasati supaya tak merugi, yaitu dengan mengecilkan ukuran tempe. Kalau menaikkan harga khawatir, daya beli masyarakat turun," ujarnya.

Dia mengatakan, permintaan konsumen terhadap tempe menurun belakangan ini. Biasanya Suhaeni harus mengolah satu kuintal kedelai untuk memproduksi tempe setiap hari. Sekarang satu kuintal kedelai digunakan untuk produksi dua hari.

"Selain kedelai yang naik, harga daun pisang untuk membungkus tempe juga turut naik," ujar Suhaeni.

Meskipun harga kedelai dan daun pisang naik, Suhaeni memastikan, tempe yang diproduksinya tak ikut-ikutan naik. Saat ini, harga tempe yang diproduksinya bervariasi. Mulai dari Rp 1.500 sampai Rp 6.000 per potong.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akan memeriksa harga jual kedelai di pasar. Hal itu karena munculnya keluhan dari pedagang tahu dan tempe terkait kenaikan harga kedelai imbas pelemahan rupiah.

"Saya belum ter-update apakah benar kenaikan seperti itu. Saya akan teelpon mereka, naikkan berapa, dan apa dasarnya. Saya akan cek," kata Enggar di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (6/9).

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement