REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Global Alwakil Indonesia (GAI) menyelenggarakan Konvensi Nasional Rancangan Standar Khusus Kompetensi Jabatan (RSKKJ) Bidang Pengurus Kerumahtanggaan (housekeeper). Kegiatan ini dilakukan dalam rangka persiapan pengadaan sistem pelatihan pekerja migran Indonesia.
“Para calon pekerja migran tidak saja akan menerima pelatihan sesuai kualifikasinya, tetapi juga keahliannya terkait link and match dengan kebutuhan pasar tenaga kerja di luar negeri. Keahlian ini merupakan kunci utama dari seluruh rangkaian sistem perlindungan, seperti yang diamanatkan oleh UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia,’’ kata Direktur Utama Global Alwakil Indonesia, Hemasari Dharmabumi, dalam releasenya kepada Republika.co.id, (6/9).
Hema mengatakan, dengan dibuatnya klasifikasi untuk jabatan housekeeper ini, maka para pekerja migran Indonesia tidak hanya memiliki kesempatan untuk bekerja pada sektor rumah tangga saja. Namun mereka dapat juga bekerja di sektor hospitality yang lain seperti hotel, restoran, rumah sakit, dan lainnya.
Penyelenggaraan konvensi ini diikuti oleh Pemerintah Daerah, Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), berbagai Balai Latihan Kerja (BLK) perwakilan dari BNP2TKI, serta Pekerja Migran Indonesia purna tugas. Kurikulum atau manual pelatihan yang telah melalui konvensi, selanjutnya akan melalui proses hukum lainnya, seperti mendapatkan hak cipta hingga proses sertifikasi standar khusus kompetensi jabatan.
Khusus untuk program pelatihan ini, GAI telah membuat perjanjian kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kegiatan kinvensi ini merupakan salah satu dari rangkaian sistem perlindungan yang telah dipersiapkan oleh GAI untuk mempersiapkan pengiriman pekerja migran Indonesia resmi terutama untuk negara tujuan Arab Saudi.
“Pemerintah RI masih menerapkan kebijakan moratorium bagi pengiriman pekerja migran perempuan ke Arab Saudi. Namun menurut pendapat kami, kebijakan moratorium ini bukanlah sebuah solusi bagi permasalahan kerentanan pekerja migran perempuan Indonesia,’’ ujarnya.
Patut diketahui, lanjut Hema, tingginya kebutuhan akan pekerja migran Indonesia di Arab Saudi menyebabkan masih banyaknya pekerja itu berangkat secara non-prosedural. “Apalagi, secara ekonomi juga tidak menguntungkan negara karena remitansi yang berasal dari Arab Saudi sebagai pendapatan negara tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya.” jelas Hema.