Kamis 06 Sep 2018 12:40 WIB

Pembaruan Pemikiran Islam

Semangat tauhid menjadi landasan etos dalam seluruh aspek kehidupan.

Pejuang Islam (ilustrasi)
Foto: Unstranslation.com
Pejuang Islam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: M Ridwan Lubis, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tema pembaruan pemikiran Islam menjadi perbincangan hangat pada dekade 1970-an di Indonesia. Sebenarnya, dialog tentang pembaruan pemikiran Islam ini dimulai lebih awal, yaitu ketika terjadi pergantian abad dari 19 ke 20.

Abad ke-20 ditandai perubahan gerakan keislaman yang semula lebih bersifat kreativitas personal berubah dengan terbentuknya berbagai organisasi. Maka muncullah organisasi keislaman, antara lain, Jami’at Khair, Sarikat Dagang Islam, Sarikat Islam, dan Muhammadiyah.

Selain itu, ada Persatuan Islam, Al Irsyad, Nahdlatul Ulama, Al Jam’iyatul Washliyah, dan lainnya. Bila merunut sejarah Islamisasi di Indonesia, ditemukan dua pola pemikiran Islam. Satu sisi mengarahkan pemikiran kepada strategi membangun pertahanan terhadap dugaan adanya penetrasi pemikiran rasional-pragmatis yang bersumber dari pemikiran Barat.

Karena itu, langkah mereka membangun sistem pertahanan dengan memperkuat Islam-normatif yang dikenal dengan komunitas pondok pesantren. Maka itu, berlangsung gerakan pengayaan terhadap penghayatan syariah.

Ini dilakukan melalui mistifikasi lalu berjumpa tradisi spiritualitas yang dikenal dengan istilah tarekat. Gerakan ini memperoleh peluang karena sejalan dengan tradisi keberagamaan di nusantara yang lebih menekankan orientasi pemahaman keislaman yang normatif.

Pola gerakan pembaruan pemikiran Islam kedua lebih menekankan Islam sebagai gerakan yang mengorganisasi diri menjadi berbagai perkumpulan. Adapun latar belakang terjadinya perubahan dari pengayaan spiritual melalui tarekat kepada gerakan politisasi Islam disebabkan timbulnya kesadaran baru bahwa terjadi perubahan dalam strategi kolonialisme di Indonesia.

Sebelumnya, kolonialisme menerapkan strategi melalui unjuk kekerasan dengan penggunaan senjata modern berhadapan dengan masyarakat yang tidak pernah memperoleh latihan teori perang dan mengenal senjata.

Masyarakat hanya memiliki senjata bambu runcing yang tidak mengeluarkan suara dan hanya dapat digunakan pada pertempuran jarak pendek. Meski begitu, mereka dibekali ilmu atau lazim disebut ngelmu.

Intinya, suatu upaya membangun kekuatan pertahanan diri dalam bentuk olah batin ketika berhadapan dengan kekuatan zalim. Kedekatan para pejuang kepada Tuhannya dalam dunia kongregasi tarekat membuat mereka memiliki berbagai kelebihan sehingga sulit ditaklukkan oleh kolonial meskipun sudah terlatih dengan menggunakan peralatan modern.

Sebagai contoh tradisi ngelmu ilmu-ilmu batin adalah terintegrasinya aktivitas ibadah dengan penyusunan format strategi perjuangan melawan kolonial. Maka tak aneh manakala rakyat Aceh memberi legalitas perjuangan melawan kolonial dengan sebutan perang sabee yang bisa diartikan dengan perang sabil, yaitu perang di jalan Allah.

Melihat kekuatan semangat para pejuang lokal ini memaksa Belanda mengubah taktiknya, yaitu dari disosiatif ke asosiatif.

Strategi disosiatif adalah membuat garis pisah antara kaum penjajah yang telah mengalami proses modernisasi. Ternyata demarkasi yang menarik garis pisah antara kolonialisme dan tradisi penduduk lokal menjadi bumerang bagi kolonial.

Lalu diubah menjadi asosiatif, yaitu menarik perhatian penduduk lokal untuk bergabung kepada kultur Barat yang telah mengalami pencerahan agar mereka bersimpati terhadap modernitas.

Dengan peralihan penduduk dari kultur lokal kepada masyarakat berperadaban, dengan sendirinya kolonial mengharapkan masyarakat yang tercerahkan ini menjadi juru bicara untuk membangun simpati masyarakat terhadap kolonialisme.

Sehingga, sebagaimana dikemukakan Fred R von den Mehden, konsep kolonialisme adalah agar elite Indonesia modern tercerabut dari kultur tradisi dan menggabungkan diri menjadi bagian masyarakat maju.

Dalam kaitan itulah kolonial memperkenalkan politik etis pada awal abad ke-20. Gerakan politik etis berbekal pemahaman mereka tentang agama, membagi klasifikasi Islam dalam tiga wilayah, yaitu ritual, sosial, dan politik.

Mereka menetapkan sikap terhadap Islam ritual, yaitu selain dibebaskan pengamalannya, tetapi juga memperoleh bantuan. Logikanya, Islam ritual sekadar urusan personal seorang manusia terhadap Tuhannya dan membahayakan secara politik.

Mereka tidak menyadari, dalam Islam ritual, yaitu rukun Islam minus haji, tertanam semangat tauhid sebagai landasan etos dalam seluruh aspek kehidupan.

Hal itu kelihatan ketika para ulama merumuskan relasi antara konsep fikih dan politik yang menggerakkan para pemuda terlibat dalam pertempuran Surabaya, yang kemudian menggelorakan pertempuran 10 November yang terkenal itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement