REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Idealisa Masyrafina, Lida Puspaningtyas
Pelemahan nilai tukar rupiah dapat mendatangkan manfaat dan mudarat bagi industri dalam negeri. Industri yang berorientasi ekspor bisa meraup untung lebih besar dari hasil penjualan. Namun, penguatan dolar AS bakal berefek negatif bagi industri yang produksi atau operasionalnya bergantung terhadap mata uang negeri Paman Sam.
Bagi industri perbankan, pelemahan rupiah dapat meningkatkan risiko kredit macet (non-performing loan/NPL). Apalagi, jika debitur suatu bank merupakan pelaku usaha yang berkaitan dengan bahan baku impor atau memiliki utang dolar AS dalam jumlah besar, sedangkan pendapatan mereka dalam rupiah.
"Bisa membuat kredit macet kalau tidak hati-hati, harus tetap dipantau," kata Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada Republika, Rabu (5/9).
Meski begitu, David menilai kondisi perbankan Indonesia masih baik. Ini dibuktikan dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio) perbankan yang sebesar 22 persen. Menurut dia, rasio CAR itu termasuk tinggi bagi negara berkembang.
Baca Juga: Krisis Turki Picu Turunnya Harga Minyak Dunia
Dari sisi NPL, rasio kredit macet cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir. Saat ini, kata dia, NPL di kisaran 2,80 persen. Namun, keuntungan bank menurun seiring turunnya net interest margin (NIM) atau margin bunga bersih. NIM turun karena bank harus menaikkan suku bunga deposito karena terus naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
"Suku bunga deposito beban untuk bank, sedangkan bunga kredit baru saja dinaikkan," kata David. Mengenai kondisi perbankan nasional, David percaya secara keseluruhan masih solid.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, dampak pelemahan rupiah yang didorong oleh keluarnya dana asing di pasar keuangan domestik diperkirakan turut memengaruhi likuiditas valuta asing (valas) perbankan.
Kondisi likuiditas valas perbankan yang cenderung lebih ketat dari tahun lalu juga akan berdampak pada penyaluran kredit valas. "Perbankan juga akan lebih selektif menyalurkan kredit untuk calon debitur, khususnya yang tidak memiliki penerimaan valas," kata Josua.
Secara umum, kata dia, penyesuaian suku bunga kredit baik rupiah maupun valas yang cenderung lebih lambat daripada penyesuaian suku bunga deposito akan menyebabkan kenaikan biaya dana yang pada akhirnya menggerus pendapatan bunga bersih perbankan.
Direktur Bank Tabungan Negara (BTN) Iman Nugroho Soeko mengatakan, bank akan terdampak dari sisi suku bunga kredit apabila ada peningkatan biaya dana. Faktor yang dominan dalam perubahan biaya dana adalah perubahan suku bunga acuan BI.
"Memang akan memengaruhi suku bunga kredit BTN walaupun transmisinya relatif lambat," kata Iman, Rabu (5/9).
Pukulan telak dirasakan industri penerbangan akibat melemahnya rupiah. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Indonesia (Inaca) Bidang Penerbangan Berjadwal Bayu Sutanta mengatakan, beban biaya sektor penerbangan bertambah berat akibat pelemahan rupiah yang sudah Rp 15 ribu per dolar AS.
Bayu mengatakan, industri penerbangan sangat terdampak pelemahan rupiah karena ada peningkatan komponen biaya. "Komponen biaya yang dipengaruhi langsung dan tidak langsung akibat kurs solar adalah 70 persen, tambah berat biayanya," kata dia.
Dia mengatakan, harga tersebut bisa berimbas kepada harga tiket apabila tarif batas bawah tidak kunjung dinaikkan. Pasalnya, berdasarkan penelusuran ke salah satu maskapai, pajak yang dikenakan untuk penerbangan luar negeri Jakarta-Bangkok naik dari Rp 2.215.100 menjadi Rp 2.229.000 pada Selasa (4/9) sore.