Rabu 05 Sep 2018 12:23 WIB

Menguji Jurus Jokowi Atasi Pelemahan Rupiah

Menkeu Sri Mulyani menyebut Indonesia sedang menghadapi badai sempurna.

Rep: Adinda Pryanka/Antara/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Joko Widodo
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Presiden Joko Widodo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan beragam jurus untuk menahan laju pelemahan rupiah. Dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan selama empat kali sejak Juli sebesar 125 basis poin. 

Kenaikan ini pun sepertinya belum akan berhenti. Sejumlah analis menyebut BI akan kembali menaikkan suku bunga padara Rapat Dewan Gubernur mendatang. Bank Indonesia, juga mengeluarkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor sembilan dan 12 bulan.

SBI menggantikan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), untuk menyerap dana asing (inflow) sehingga dapat menambah instrumen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Sementara pemerintah, membuat kebijakan dengan fokus untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan. Pemerintah membatasi 900 produk impor dengan pengenaan tarif beas masuk. Tak hanya itu, untuk stabilitas rupiah, pemerintah mendorong penggunaan biodesel 20 (B20) pada angkutan transportasi yang memakai solar.

Tujuannya untuk menekan impor migas yang cukup menyumbang besar dalam defisit neraca dagang. Di samping itu, pemerintah juga mendorong peningkatan ekspor agar bisa menambah cadangan devisa dalam negeri. Namun jurus-jurus itu belum mampu meredam pelemahan rupiah, setidaknya hingga hari ini.

Baca juga, Rupiah, Mata Uang Berkinerja Terburuk Kedua di Asia.

Presiden Joko Widodo mengatakan ekspor dan investasi menjadi dua hal penting dalam memperkuat fundamental perekonomian Indonesia. "Kalau itu bisa kita lakukan, ekspornya meningkat, sehingga defisit neraca perdagangan bisa kita selesaikan. Defisit transaksi berjalan kita, 'current account defisit' bisa kita selesaikan," kata Jokowi dalam sambutannya saat realisasi ekspor kendaraan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia di IPC Car Terminal, Pelabuhan Tanjung Priok, Rabu.

Menurut Presiden, ia telah memerintahkan menteri di bidang ekonomi untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan selama 1 tahun.  Dengan peningkatan ekspor, maka devisa negara akan meningkat dan neraca perdagangan makin stabil, jelas Jokowi.

Jokowi menilai, pelemahan kurs mata uang global terjadi karena faktor eksternal yaitu kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan perang dagang antara AS dengan Cina. Ia pun meminta seluruh jajarannya untuk waspada.

"Saya kira yang paling penting kita harus waspada, kita harus hati-hati. Saya selalu melakukan koordinasi di sektor fiskal, sektor moneter, dan sektor industri, pelaku-pelaku usaha," kata Jokowi.

Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu pagi melemah sebesar 25 poin menjadi Rp 14.920 dibanding posisi sebelumnya Rp 14.895 per dolar AS.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengingatkan masyarakat jangan cemas terhadap fenomena pelemahan mata uang rupiah.

Menurut dia, pemerintah telah responsif dalam menahan pelemahan nilai tukar rupiah.

Kendati rupiah terdepresiasi sekitar 7 persen, namun jumlah itu masih lebih rendah dibanding mata uang negara lain seperti rupee India (9,7 persen), rand Afrika Selatan (minus 15,98 persen), dan real Brazil (minus 20,26 persen).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengibaratkan Indonesia sedang berada dalam badai yang sempurna. Badai tersebut, kata Sri, berasal dari domestik akibat lonjakan impor yang tinggi. Badai itu menjadi semakin kencang dengan adanya krisis yang dialami negara-negara berkembang.

"Buat kita ini merupakan kejutan (lonjakan impor). Sentimen itu ditambah lagi dengan lingkungan global, Argentina masuk (dapat bantuan) IMF, Turki juga. Itu perfect storm," kata Sri di hadapan anggota Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (4/9).

Sri menyampaikan, dalam pembahasan dengan anggota Banggar pada Juli 2018, disepakati kisaran asumsi kurs dalam nota keuangan RAPBN 2019 adalah Rp 13.800 hingga Rp 14 ribu per dolar AS. Akan tetapi, dalam nota keuangan yang disampaikan Presiden Joko Widodo ditetapkan asumsi kurs menjadi Rp 14.400 per dolar AS.

"Waktu kami harus cetak nota keuangan, pada bulan Juli terjadi turbulensi luar biasa," kata Sri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement