REPUBLIKA.CO.ID, Achmad Syalaby Ichsan/Wartawan Republika
Tinggal di Wamena, Papua, membuat Dani Ode (27 tahun) harus pandai-pandai mengatur keuangan. Bukan hanya harga barang yang lebih tinggi dari daerah lain, Dani juga harus menyisakan uang untuk pergi ke luar kota. Dia mesti merogoh kocek lebih dalam untuk membeli tiket pesawat untuk terbang ke berbagai daerah di bumi Cenderawasih. Daerah seperti Jayapura, Lanny Jaya, Merauke hingga ke Timika menjadi tujuannya ketika harus terbang. “Kalau ada kegiatan agak jauh di luar kota, saya pasti terbang. Warga sini masih tergantung pada transportasi udara,”ujar Dani saat berbincang dengan Republika, Senin (3/9).
Dani mengaku kerap khawatir saat menumpang pesawat. Cuaca yang tidak menentu membuat pesawat kerap mengalami turbulensi cukup kuat. Belum lagi, Wamena merupakan kota yang terletak di Lembah Baliem. Pegunungan Jayawijaya kokoh mengelilingi kota berpenduduk 48.660 jiwa itu. Pesawat pun harus bermanuver untuk melalui celah-celah tebing pegunungan. Namun, aktivitas Dani di berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat mengharuskannya untuk siap terbang. Menurut Dani, pesawat menjadi transportasi satu-satunya yang bisa menghubungkan berbagai daerah di Papua mengingat jalan darat masih sangat terbatas. “Kalau jalur darat hanya bisa yang dekat. Itu pun jalannya offroad,”kata dia.
Kekhawatiran Dani meninggi ketika mendengar ada kecelakaan pesawat perintis Dimonim Air VK-HVQ yang terjatuh di Gunung Menuk, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua pada Sabtu (11/8) lalu. Delapan orang tewas akibat kecelakaan itu. Pesawat perintis itu hanya menyisakan Jumaidi, bocah berusia 12 tahun yang dievakuasi dalam keadaan selamat. Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat. Meski demikian, warga Wamena seperti Dani mencoba untuk tebal telinga. Cerita tentang kecelakaan pesawat tak membuat mereka berhenti naik pesawat. Moda transportasi ini menjadi harapan mereka menyambung hidup.
Jumlah penerbangan di Papua tidak sedikit. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Papua, ada 84.531 kedatangan pesawat pada 2017. Sementara itu, volume keberangkatan tercatat sebanyak 84.861 pesawat. Jumlah penumpang datang dan berangkat ada sebanyak 4.117.794 jiwa. Artinya, rata-rata ada 343.149,5 jiwa penumpang yang hilir mudik ke Papua setiap bulan. Data tersebut diambil hanya dari tujuh bandara dengan tiga yang terpadat yakni Sentani (Jayapura), Wamena (Jayawijaya) dan Mozes Kilangin (Mimika).
Sibuknya udara Papua pun disadari Dani. Karena itu, dia berharap agar kualitas pelayanan penerbangan di Papua bisa lebih baik. Dani meminta agar landasan pacu di banyak bandara Papua lebih diperpanjang, diperlebar dan diperhalus. Dia mengungkapkan, masih ada landasan bandara di Papua yang miring akibat medan yang tidak rata. Dani pun berharap agar teknologi navigasi lebih ditingkatkan. Topografi Papua yang penuh dengan pegunungan dan lembah membuat pesawat harus memiliki teknologi navigasi canggih. Terlebih, dia menjelaskan, cuaca di Papua kerap berubah. Dia pun berharap, maskapai penerbangan tidak memaksakan diri untuk terbang ketika cuaca sedang buruk.
Data kecelakaan penerbangan di Indonesia 2017
Dari Januari hingga Agustus 2018, ada dua kecelakaan pesawat di Papua. Sebelum kecelakaan di Gunung Menuk, pesawat FlyingSAS tergelincir di Nabire. Jumlah ini lebih sedikit ketimbang tahun sebelumnya yang mencatat tiga kecelakaan pesawat terjadi di provinsi ini. KNKT juga mencatat, selama 2010-2016, kecelakaan pesawat di Papua menyumbang 25 peristiwa. Angka ini lebih dari seperempat total kecelakaan nasional yakni 83 kejadian. Sebenarnya, informasi dari KNKT menyatakan, grafik kecelakaan pesawat cenderung menurun sejak 2013. Namun, kecelakaan kembali naik pada 2015 dan 2016. Setahun kemudian, kecelakaan pesawat relatif berkurang. Hanya ada tujuh kecelakaan pada 2017.
Pilot pesawat komersial Capt Rafiqul Hamid menjelaskan, terbang di udara Papua memang terbilang unik. Dengan medan yang sulit, seorang pilot harus mampu memastikan penumpangnya bisa terbang hingga selamat. Capt Rafiq menjelaskan, terbang di Papua sekarang sudah jauh lebih baik ketimbang 20-30 tahun lalu. Meski kecelakaan itu masih terjadi, dia menjelaskan, kejadiannya tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pesawat. Contohnya saja, peralatan navigasi pesawat, panduan dari traffic control hingga sumber daya manusia. “Kalau yang kemarin itu human error ya,”jelas dia merujuk pada kecelakaan di Gunung Menuk.
Capt Rafiq menjelaskan, pelayanan navigasi di Papua pun mengalami perbaikan. Adanya lembaga pelayanan navigasi seperti AirNav Indonesia membuat pesawat pilot menjadi lebih nyaman terbang di Papua. Terlebih, AirNav fokus untuk menangani pelayanan navigasi. Tugasnya berbeda dengan Angkasa Pura (AP) yang menangani permasalahan bandara. “Kalau dulu digabung karena AP mengurus bandara dan navigasi,”jelas dia.
Sebagai pilot, dia mengaku nyaman dengan teknologi navigasi yang sudah menggunakan ADS-B. Lewat bantuan satelit, radar bisa menerima sinyal dengan kualitas jauh lebih baik. Kondisi Papua yang kaya dengan gunung dan lembah, ujar Capt Rafiq, membuat ADS-B mutlak dibutuhkan. Menurut dia, teknologi navigasi saat ini sudah lebih maju sehingga memudahkan pilot untuk terbang. “Equipmentnya baik. Bahkan sudah bisa terlihat tiga dimensi bagi pesawat yang sudah aplicable,”jelas dia.
Hanya saja, Capt Rafiq berpesan agar semua stakeholder di dunia penerbangan mengikuti prosedur yang sudah ada. Dia menegaskan, peralatan yang canggih akan percuma jika sumber dayanya tidak disiplin. “Sebenarnya selama SOP diikutin insya Allah enggak terjadi. Insya Allah aman. Kalau pun ada kecelakaan ada investigasi. Hasilnya akan keluar rekomendasi apa yang salah dan diperbaiki,”jelas dia.
Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Indonesia (Perum LPPNPI) atau Airnav Indonesia berupaya untuk meningkatkan pelayanan navigasi di Papua. Manajer Humas AirNav Indonesia Yohanes Sirait menjelaskan, Papua memang menjadi fokus AirNav. Tingginya kebutuhan masyarakat Papua terhadap transportasi udara membuat AirNav melakukan modernisasi navigasi di wilayah tersebut. AirNav mencatat ada 109 bandara di Papua yang mesti terkoneksi dengan modernisasi.
Dia menjelaskan, wilayah Papua yang terdiri dari banyak pegunungan membuat penerbangan di provinsi paling timur di Indonesia itu kerap menuai tantangan. Tak jarang, pilot harus berhadapan dengan cuaca yang berubah-ubah ketika berada di udara. Tebing dan pegunungan juga membuat pilot pesawat perintis kerap terbang rendah. Pilot mesti jeli melihat tebing yang berada di sekitar mereka. “Kayak main bombomkar. Ngendaliin pesawatnya dia harus belok kiri dan kanan,” kata dia.
Untuk langkah awal, kata Yohanes, AirNav memang memanfaatkan teknologi navigasi yang disebut ADS-B atau Automatic Dependent Surveillance-Broadcast. AirNav telah memasang tujuh ADS-B di berbagai wilayah di Papua. Alat navigasi itu dipasang di lokasi kantor bank pelat merah seperti BRI, BNI dan Mandiri. “Jadi ini teknologi anak bangsa,”kata dia.
Menurut Yohanes, ADS-B diciptakan lewat kerja sama antara PT Inti dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). ADS-B merupakan salah satu alat bantu navigasi yang menggunakan teknologi satelit. Teknologi ini mampu mengawasi posisi pesawat selama melakukan pergerakan. Secara berkala, ADS-B akan memberikan siaran informasi kepada alat navigasi di pesawat, pilot dan ATC. Informasi yang diterima pilot dan ATC ini menjadi pengganti radar sekunder. Pilot pun akan sadar tentang situasi terkini — termasuk ketika terjadi perubahan cuaca tiba-tiba — karena mendapat data setiap saat.
ADS-B yang juga disebut sebagai impelementasi radar sintetis berbasis satelit disebut mampu menurunkan tingkat kecelakaan pesawat di Papua. Sejak dilaunching pada awal 2018, kecelakaan pesawat terjadi dua kali yakni di Gunung Menuk dan Nabire. “Ini berbeda kalau dulu kita dengar berita setiap minggu ada saja kecelakaan pesawat,”ujar dia.
Dia menjelaskan, pada umumnya, pesawat-pesawat modern sudah bisa menerima sinyal dari ADS-B. Meski begitu, dia mengakui masih ada beberapa pesawat yang belum bisa menggunakan teknologi tersebut. Karena itu, AirNav akan berbicara dengan maskapai penerbangan untuk memasang alat tambahan penerima sinyal yang disebut transponder.
Yohanes menambahkan, teknologi tersebut juga harus melibatkan warga asli Papua. Karena itu, AirNav menyelenggarakan beasiswa untuk warga asli Papua. Pada tahun lalu, dia menjelaskan, pihaknya mengucurkan dana Rp 2,5 miliar untuk pendidikan navigasi. Yohanes mengungkapkan, mereka disiapkan untuk menjadi petugas komunikasi hingga Air Trafic Control. Pada 2018-2019, AirNav menargetkan akan mendidik 200 pemuda Papua. Setelah dididik, mereka langsung diangkat menjadi karyawan AirNav. Dia mengharapkan, para pemuda Papua ini diharapkan bisa ikut berkontribusi dalam mengamankan langit Papua.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menegaskan, program modernisasi di Papua menjadi komitmen pemerintah untuk membangun provinsi tersebut. Adanya modernisasi itu diharapkan bisa meningkatkan konektivitas, efisiensi penerbangan hingga keselamatan di Papua.
Rini mengakui, transportasi udara merupakan moda krusial bagi masyarakat Papua mengingat kondisi topografinya yang sulit diakses jalur darat. Program tersebut pun diharapkan mampu meningkatkan konektivitas udara pada 109 Bandara Papua. “Harapannya melalui program ini, konektivitas udara di wilayah Papua meningkat sehingga turut menunjang pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua," tegas dia.