Selasa 04 Sep 2018 09:19 WIB

Pengembangan Kampung Tugu Terhambat Jalan Berdebu

Warga Kampung Tugu ingin bangun Pusat Kebudayaan Indonesia-Portugis

Rep: Flori Sidebang/ Red: Bilal Ramadhan
Keroncong Tugu, Jakarta Utara.
Foto: Antara
Keroncong Tugu, Jakarta Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebuah pendopo kecil terlihat berdiri kokoh di halaman depan rumah seorang warga. Letaknya sekitar satu kilometer dari Gereja Tugu, Jakarta Utara. Pendopo itu terbuat dari kayu dan terdapat sebuah papan yang bertuliskan 'Keroncong Tugu Cafrinho'.

Beberapa alat musik petik yang sudah tak dipakai lagi terpajang di sana. Pemilik tempat itu adalah Guido Quiko yang juga sekaligus menjabat sebagai ketua Keroncong Tugu. Sebuah kelompok musik dari Kampung Tugu, Jakarta Utara, yang penduduk aslinya adalah keturunan Portugis.

Keroncong Tugu terbentuk secara resmi pada tahun 1925, oleh Joseph Quiko. Awalnya, di abad ke-17 kegiatan bermusik itu dilakukan oleh masyarakat Kampung Tugu sebagai hiburan di sore hari setelah seharian bekerja. Sebab, pada masa itu mereka tidak memiliki hiburan lain dan lokasi tempat tinggal mereka yang jauh dari perkotaan.

Alat musik yang mereka gunakan pun hanya terbuat dari batang pohon yang ada di Kampung Tugu dan dibentuk menyerupai alat musik petik yang mereka sebut macina . Macina memang sepintas mirip ukulele, bentuknya kecil. Tetapi suaranya lebih nyaring dan dryer-nya pun terbuat dari kayu.

“Suaranya crang crong gitu, makanya orang-orang pribumi pada zaman itu menyebutnya keroncong. Nah, inilah pertama kali adanya sebutan Keroncong Tugu di abad ke-17,” kata Guido sambil memainkan Macina miliknya yang sudah dibuat sejak tahun 1977.

Nama Macina sendiri belum diketahui dari mana asal usulnya. Guido sudah mencoba untuk mencari di beberapa literatur dan kamus, tapi hingga kini belum menemukannya.

Saat Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada masa itu, memerintahkan agar keberadaan Kampung Tugu dan potensinya yang ada di dalamnya 'dihidupkan' kembali. Sejak itu Keroncong Tugu di bawah kepemimpinan Yakobus Quiko kembali aktif bermain musik di berbagai acara, seperti pernikahan warga di Kampung Tugu.

Pada tahun 1978 Yakobus Quiko meninggal dan digantikan oleh Samuel Quiko (ayah Guido) sebagai pemimpin Keroncong Tugu hingga tahun 2006. Selama memimpin, Samuel Quiko berhasil membawa Keroncong Tugu semakin dikenal luas oleh masyarakat sebagai sebuah kelompok musik tradisional.

Hal yang sama pun dilakukan oleh Guido. Sejak menggantikan posisi ayahnya, Quiko, di tahun 2006, Guido berusaha membawa kelompok musik yang saat ini dikenal dengan nama Keroncong Tugu Cafrinho agar semakin dikenal banyak orang. Salah satunya tentu dengan menggunakan kemajuan teknologi yang ada, yaitu melalui internet.

Guido bertekad untuk tetap mempertahankan sisi tradisional dari Keroncong Tugu. Salah satunya dengan menggunakan alat musik khas mereka, Macina dan membawakan lagu-lagu berbahasa kreol Tugu (bahasa Portugis yang sudah bercampur dengan bahasa daerah setempat, dalam hal ini Betawi).

Selain itu, meski sering diundang dalam berbagai acara dan diminta membawakan lagu-lagu masa kini, Keroncong Tugu Cafrinho tetap mempertahankan ciri khas mereka, yaitu dengan aransemen musik yang sederhana dan cara bermusik ala mereka. Contohnya, saat mengisi acara di Festival Kali Besar, Kota Tua, Jakarta Barat yang diadakan oleh Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta Barat, pada tanggal 30 Agustus 2018 lalu.

Keroncong Tugu Cafrinho pun beberapa kali sempat tampil ketika ada kunjungan wisata ke Kampung Tugu. Tidak hanya suguhan musik, para wisatawan juga mendapatkan informasi mengenai sejarah Kampung Tugu dan makanan khasnya.

Namun, yang menjadi kendala dan keprihatinan Guido adalah akses menuju Kampung Tugu saat ini yang agak sulit. Sepanjang jalan menuju kampung tersebut dilalui oleh banyak truk kontainer dan lalu lintas yang juga sering macet. Ditambah lagi kondisi jalan yang berdebu, semakin membuat sulit menjadikan Kampung Tugu sebagai destinasi wisata.

“Makanya saya lagi 'gedor' wali kota atau mungkin langsung ke balai kota, supaya Kampung Tugu ini dibebaskan dari truk kontainer. Karena kalau (aksesnya) ini kosong dari kontainer, kita bisa bikin Pusat Kebudayaan Indonesia-Portugis. Datangkan investor dari Portugal atau Timor Leste. Soalnya warga Tugu dekat dengan Timor Leste. Saya juga pernah undang Xanana Gusmao ke sini tahun lalu dan dia datang,” ujar Guido.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement