REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Partai Golkar bisa terjerat kasus korupsi dan ditetapkan menjadi tersangka korupsi bila terbukti ikut menerima uang dalam kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1. Beberapa hari yang lalu, terungkap jika uang suap PLTU Riau-I yang diterima tersangka Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih (EMS) mengucur untuk membiayai Munaslub Partai Golkar.
"(Ditetapkan sebagai tersangka korporasi) Kalau Itu bisa kita buktikan itu bisa, tapi sampai sekarang belum," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (3/9).
Menurut Basaria, KPK masih pihaknya masih mengumpulkan sejumlah bukti terkait dengan pengakuan Eni soal aliran uang ke Munaslub Golkar itu. Menurut dia, pihaknya juga masih membahas soal kemungkinan menjerat Golkar sebagai tersangka korupsi korporasi.
"Sampai sekarang belum ada pembuktian itu dipakai atau tidak. Itu masih dalam pengembangan," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengaku masih terjadi perdebatan untuk menjerat sebuah organisasi di luar korporasi menjadi tersangka korupsi. Menurutnya, muncul pertanyaan apakah penetapan tersangka korupsi berlaku pada organisasi publik, seperti partai politik.
"Itu belum semuanya sama persepsinya, oleh karena itu KPK harus mengkaji lebih dalam lagi," kata Syarif beberapa hari lalu.
Syarif mengatakan KPK harus mempelajari lebih lanjut dan mengundang sejumlah pakar hukum terkait penggunaan Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, terhadap partai politik. Diketahui, penetapan tersangka untuk sebuah organisasi berbadan hukum bisa dilakukan merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
Sebelumnya, Eni mengungkapkan hal-hal baru terkait kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-I. Salah satunya, soal perintah dari partai khususnya para elite Golkar agar mengawal proyek PLTU Riau-I. Kemudian, Eni juga mengungkap lebih detail kucuran dana suap PLTU Riau-I yang diterimanya dari bos Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK).
Eni menyebut dana suap itu mengalir ke acara Munaslub Partai Golkar, yang mengukuhkan Airlanggasebagai Ketua Umum Golkar.Tak hanya itu, Eni pun mengungkap adanya sejumlah pertemuan antara dirinya bersama Johannes dengan mantan Menteri Sosial Idrus Marham dan Dirut PLN Sofyan Basir. Tujuannya, untuk meloloskan Blackgold sebagai konsorsium penggarap proyek PLTU Riau-I.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka Ketiga tersangka itu antara lain, Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih, bos Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo dan teranyar Idrus Marham.Diduga saat menjabat sebagai PIt Ketua Umum Partai Golkar periode November sampai dengan Desember 2017 dan Menteri Sosial, Idrus diduga mengetahui dan memiliki andiI terkait dengan penerimaan uang oleh Eni dari Johannes. Diketahui, sekitar November Desember 2017 dIduga Eni menerima Rp 4 Miliar. Lalu, sekitar bulan Maret dan Juni 2018 diduga Eni jiga menerima sekitar Rp2,25 Miliar.
Idrus juga diduga berperan mendorong agar proses penandatanganan Purchase Power Agreement (PPM/jual beli dalam proyek pembangunan PLTU mulut tambang Riau 1. Selain itu, Idrus juga diduga telah menerima janji untuk mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni sebesar 1,5 juta dollar AS yang dijanjikan Johannes apabila PPA Proyek PLTU Riau 1 berhasil dllaksanakan oleh Johannes dan kawan-kawan.
Dalam penyidikan perkara awal yang sudah dilakukan sejak 14 Juli 2018 hingga hari ini sekurangnya penyidik telah memeriksa 28 orang saksi.
Atas perbuatannya, Idrus disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ke-2 KUHPJuncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.