Senin 03 Sep 2018 08:02 WIB

(Masih) Seputar Pelemahan Rupiah

Sumber rentannya ekonomi kita sebenarnya telah dimulai sejak 2015.

Sunarsip
Foto: dok. Pribadi
Sunarsip

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Sunarsip

Dalam sepekan kemarin, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yang cukup dalam dan sempat menyentuh level di atas Rp 14.800 per dolar AS. Selama 2018 ini, rupiah telah melemah sekitar 9,43 persen.

Penurunan rupiah mengikuti pelemahan mata uang di sejumlah negara-negara berkembang (emerging market/EM) lain, di antaranya rupee India, peso Argentina, dan peso Filipina. Bila tidak diantisipasi secara serius, efek dari pelemahan rupiah ini dapat ke mana-mana, tidak hanya pada sektor keuangan, tetapi juga dapat berimbas pada sektor riil dalam bentuk gangguan produksi. Gangguan produksi antara lain disebabkan oleh terhambatnya impor akibat semakin mahalnya bahan baku dan barang modal.

Bila dirunut ke belakang, pelemahan rupiah dan sejumlah mata uang EM saat ini sebenarnya telah diprediksikan akan terjadi. Faktor pendorongnya adalah berakhirnya program quantitative easing/QE sejak akhir 2014 atau yang dikenal dengan taper tantrum.

Sebagaimana diketahui, dalam rangka memulihkan ekonomi Amerika Serikat (AS) akibat krisis subprime mortgage pada 2007, bank sentral AS (the Fed) memberlakukan kebijakan QE dengan menyuntikan dana ke ekonomi AS melalui pembelian obligasi (bonds) yang dikeluarkan pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, dana yang disuntikan mencapai sekitar 70 miliar dolar AS per bulan dan itu berlangsung sejak 2008 sampai akhir 2014.

Kebijakan QE tersebut membuat pasar keuangan AS dibanjiri likuiditas dan memaksa harga dan imbal hasil (yield) obligasi di AS turun dratis. Kondisi ini mendorong para pemilik modal portofolio membawa dananya keluar (capital outflow) dari AS. Sebagai tujuan investasi selanjutnya, para pemilik dana portofolio tersebut menempatkan dananya ke EM. Akibatnya, pasar keuangan EM mengalami booming yang ditandai dengan terjadinya capital inflow yang cukup dratis pada pasar keuangannya, termasuk di pasar keuangan Indonesia.

Karena kebijakan QE ini dipandang sebagai kebijakan yang bersifat temporer, the Fed pun merasa perlu mengakhirinya. Terlebih lagi, kondisi ekonomi AS sudah mulai pulih dengan ditandai membaiknya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya angka pengangguran. Maka, pada Mei 2013, the Fed pun memulai diskusi untuk mengakhiri QE, termasuk menghitung dampaknya bagi EM.

Kekhawatiran utama dari pengakhiran QE bagi EM adalah terjadinya arus balik (capital outflow) dana-dana jangka pendek ke AS. Pembalikan modal terutama dikhawatirkan terjadi pada EM seperti Brasil, India, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki (dikenal dengan istilah “lima negara rentan” atau the Fragile Five).

Disebut fragile five karena kelima negara ini dinilai rentan bila terjadi gejolak eksternal. Kelima negara ini juga yang relatif paling banyak menerima aliran modal portofolio selama berlakunya QE. Dan secara alamiah menjadi paling rentan bila modal yang sudah masuk kembali keluar akibat pengakhiran QE.

Indonesia sendiri memiliki ketergantungan yang relatif besar terhadap faktor eksternal. Ekspor kita bergantung pada volatilitas harga komoditas. Industri kita juga memiliki ketergantungan yang relatif tinggi pada impor.

Cadangan devisa kita juga belum dibangun dari hasil ekspor yang kuat. Indonesia juga masih tergantung kepada investasi portofolio dan sehingga bila kebijakan taper tantrum atau pengakhiran QE diberlakukan diperkirakan dana-dana tersebut akan kembali ke AS.

Beberapa pihak menilai bahwa Indonesia dan India berhasil dalam mengantisipasi dampak dari taper tantrum. Indikatornya, kinerja perekonomian Indonesia dan India pada saat taper tantrum diberlakukan masih tetap tumbuh relatif tinggi. Di Indonesia, kekhawatiran terjadinya pembalikan modal juga relatif tidak terjadi, bahkan setiap tahunnya terjadi net capital inflow di pasar modal.

Sayangnya, apa yang disebut sebagai “keberhasilan” dalam mengantisipasi dampak pengakhiran QE tersebut sepertinya tidak bertahan lama. Mata uang rupee India kini terdepresiasi dengan tingkat depresiasi yang justru lebih besar daripada rupiah. Selama 2018, rupee India melemah 9,70 persen terhadap dolar AS.

Dalam konteks Indonesia, saya menilai bahwa sumber rentannya perekonomian kita pada saat ini sebenarnya telah dimulai sejak 2015. Sumber kerentanan ini dimulai dari pelemahan harga komoditas ekspor. Harga komoditas mengalami penurunan sejak pertengahan 2014.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement