Sabtu 01 Sep 2018 09:54 WIB

Asian Games, BPJS, dan Wisuda Universitas Indonesia

Ada kegembiraan di tengah hiruk pikuk Asian Games, ada juga yang sedih.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia

Tiga tema dalam judul di atas sama sekali tidak berhubungan, akan tetapi semua menjadi terkait pada hari jumat kemarin. Prestasi Indonesia di Asian Games yang meraih 30 emas sungguh meledakkan kegembiraan bangsa.

Hari demi hari sejak perhelatan olahraga terbesar di Asia ini digelar, memang terus diwarnai berita perolehan medali para atlet terbaik Indonesia. Bayangkan, dari target 16 medali emas, tercapai nyaris dua kali lipat.

Sementara itu, dari tekad berada di delapan besar, posisi Indonesia juga naik dua kali lipat, atau kini di peringkat ke-4.

Optimisme, kebanggaan, harapan menyelubungi seluruh penjuru negeri. Lalu pertanyaan retoris itu,

“Siapa kita?”

“Indonesia!”

Kini kita tidak lagi perlu minder atau malu. Tidak perlu menundukkan wajah, tetapi sudah berani dengan kepala tegak menyatakan diri sebagai anak Indonesia.

Kebanggaan ini bahkan menelusup hingga di sebuah acara sakral sekelas wisuda Universitas Indonesia.

Kebetulan saya hadir sebagai orang tua salah satu wisudawan. Kebetulan pula ini bukan satu satunya upacara wisuda yang saya hadiri, sebelumnya ketika suami diwisuda saya juga sempat hadir, dan beberapa wisuda lain.

Seperti biasa, para mahasiswa baru menyanyikan lagu universitas dan lagu kebangsaan serta beberapa tembang, seperti keroncong Kemayoran yang dari tahun ke tahun rutin dibawakan.

Namun, ada yang berbeda tahun ini. Konduktor dengan semangat mengumumkan jumlah raihan emas Asian Games 2018 di acara upacara wisuda.

Sesuatu yang tidak lumrah dalam upacara wisuda, hasil event olahraga menjadi bagian dari acara. Tidak cuma itu, salah satu mahasiswi bersuara emas turut membawakan lagu tema Asian Games di tengah upacara.

Kemeriahan pecah.

Para mahasiswa baru, selain wisudawan serta wisudawati ikut bergoyang dan bergembira. Asian Games benar-benar memberikan ruh semangat yang memantik kegembiraan di mana-mana.

Bahkan, ketika lagu tersebut dinyanyikan, rektor dan para guru besar melepas topi sakral yang mereka kenakan lalu menggoyang-goyangkan layaknya suporter olahraga yang sedang memberikan semangat kepada tim favorit mereka.

Suasana Asian Games sungguh berdenyut dan menghidupkan wisuda. Buat saya pribadi ini pertama kali melihat rektor, para guru besar, profesor, dan para akademisi, bergoyang ceria dalam balutan toga kebesaran universitas.

Sebuah pemandangan yang membanggakan dan menceriakan.

Saya hampir yakin ini pun pengalaman pertama bagi banyak wisudawan juga para orang tua serta mahasiswa baru menyaksikan bentuk kegembiraan serupa.

Bahkan, bagi civitas akademika UI ini pun bukan hal umum. Jelas sudah hubungan wisuda dan Asian Games. Lalu, apa relevansinya dengan BPJS?

Beberapa jam sebelum menghadiri wisuda, saya sempat mampir di kantor bertemu pegawai yang hari ini baru menerima gaji. Anehnya, ekspresi mereka tidak seceria biasa. Seolah tidak tersentuh kebahagiaan Asian Games.

Apa yang terjadi?

Satu staf bercerita bahwa ia baru saja menghabiskan 800 ribu rupiah untuk perawatan bayinya. "Sekarang BPJS tidak menanggung lagi perawatan bayi atau kehamilan," tuturnya.

Bukannya hal ini baru rumor? Sang pegawai menggeleng.

"Buktinya, BPJS saya ditolak dan harus bayar sendiri," katanya.

Mendengar hal tersebut, pegawai lain yang istrinya hamil dan konon harus melalui persalinan caesar turut dirundung kesedihan.

Ya Allah, mengapa jadi begini? Batin saya.

Saya tahu BPJS merugi triliunan setiap tahun, tapi ia salah satu program pemerintah yang tepat sasaran. Bahkan, dibandingkan program lain, yang dananya sekadar dibagi satu arah seperti untuk pendidikan dll, BPJS justru masuk ke program kerja sama yang memiliki peran aktif masyarakat.

Rakyat tidak cuma menerima, tapi turut berkontribusi dengan membayar rutin. Sungguh aneh jika penyakit dan kondisi yang paling membutuhkan peran BPJS, malah dihapus dari tanggungan.

Kalau memang BPJS orientasinya adalah keuntungan, jangan paksa seluruh rakyat untuk ikut serta. Jadikan saja perusahaan asuransi biasa. Beri rakyat kebebasan memilih.

Padahal banyak orang, seperti saya yang awalnya percaya: BPJS merupakan bentuk asuransi pengabdian. Benar rakyat berperan serta, tapi tujuan utamanya tetap upaya pemerintah melindungi rakyatnya.

Jika saja yang ditolak pembayarannya oleh BPJS deret penyakit akibat merokok, saya bisa menerima logikanya. Tapi persalinan, lalu penyakit kanker atau masalah jantung yang bukan akibat kebiasaan buruk merokok? Tentu perlu dipertanyakan dan dikaji ulang kebijakannya.

Amat sangat saya berharap, dengung Asian Games yang baru saja berakhir akan tetap gempita menyentuh semua lapisan rakyat setidaknya hingga 2018 usai.

Dan pertanyaan berikut:

“Siapa Kita?”

Bisa dijawab dengan pekik lantang serta tangan teracung,

“Indonesia!”

Dengan meluap kegembiraan dan kebanggaan yang tak tercuri episode kesedihan karena BPJS yang diwajibkan tak lagi berpihak pada rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement