Jumat 31 Aug 2018 16:19 WIB

Sukarno-Natsir:Lawan Pendapat Bukan Musuh yang Harus Dihabis

Para pendiri bangsa menunjukan teladan mulia ketika berbeda pendapat

Sukarno bersama M Natsir
Foto: dok. Istimewa
Sukarno bersama M Natsir

Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, mantan anggota DPR  dan Staf M Natsir, dan staf ahli Wapres Hamzah Haz

LANTARAN keberhasilannya memulihkan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara bermartabat, Mohammad Natsir --Ketua Partai Masyumi-- ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi formatur kabinet.

Pada mulanya Asa Bafagih, wartawan harian Merdeka, bertanya kepada Bung Karno mengenai siapa yang akan dia tunjuk menjadi Perdana Menteri kabinet pertama di era Negara Kesatuan? Tanpa ragu, Bung Karno menjawab: "Siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi. Mereka punya konsepsi untuk menyelesaikan masalah bangsa menurut konstitusi."

Ketua Partai Dilarang Menjadi Menteri

Natsir sendiri sesungguhnya sudah bersiap untuk mencurahkan tenaga dan pikirannya guna membesarkan Masyumi. Dia tidak pernah membayangkan bakal ditunjuk menjadi formatur kabinet. Oleh sebab itu dia sungguh-sungguh tidak menduga, sekaligus heran atas penunjukan Presiden itu.

Keheranan Natsir ada alasannya. Pertama, di  dalam Panitia Persiapan Pembentukan Negara Kesatuan, Masyumi bersikukuh agar Negara Kesatuan dikelola dengan sistem kabinet presidensial yang lebih menjanjikan stabilitas politik ketimbang kabinet parlementer. Apalagi sampai saat itu parlemen belum pernah dipilih langsung oleh rakyat.

Usul Masyumi ditolak oleh PNI dan PSI yang gigih  mendukung sistem pemerintahan parlementer. Usul jalan tengah Masyumi agar di masa peralihan di dalam Konstitusi Negara Kesatuan dimasukkan pasal yang mengatur, dalam keadaan tertentu, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta diberi hak untuk memimpin pemerintahan; juga ditolak oleh PNI dan PSI.

Masuk akal jika sebagai penganjur dan penyokong sistem pemerintahan presidensial, Natsir menganggap Masyumi lebih pantas berada di luar pemerintahan.

Kedua, Muktamar Masyumi bulan Desember 1949 menetapkan Ketua Masyumi tidak boleh menjadi menteri. Jika menjadi menteri saja dilarang, apalagi menjadi perdana menteri. Larangan itupun tentu berlaku juga untuk Natsir yang sejak Muktamar 1949 dipilih menjadi Ketua Masyumi.

Bung Karno yang sangat terkesan oleh cara-cara Natsir mengajak negara-negara bagian membentuk Negara Kesatuan, keukeuh meminta Natsir menyusun kabinet. Permintaan yang akhirnya tidak bisa dielakkan oleh Natsir.

Gagal Mengajak PNI

Dibantu K.H.A. Wahid Hasjim dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Natsir mulai bekerja menyusun kabinet. Sejak awal trio tokoh Masyumi itu bersepakat, kabinet yang akan dibentuk harus sungguh-sungguh mencerminkan kesatuan nasional. Oleh karena itu kabinet harus mendapat dukungan luas dari partai-partai, dan memperoleh sokongan sebanyak mungkin suara di parlemen. Maka, Natsir-Wahid-Sjafruddin mufakat belaka basis dukungan kabinet mestilah Masyumi dan PNI, dua partai terbesar di masa itu.

Meskipun demikian, sebagai partai yang ditunjuk untuk menyusun kabinet, trio pemimpin Masyumi itu seia sekata bahwa Masyumi memiliki hak lebih besar dari PNI.

Rupanya di sini pula masalah bermula. PNI meminta hak yang sama dengan Masyumi. PNI misalnya, meminta jatah Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Permintaan yang tentu saja ditolak oleh Natsir.

Berbagai ikhtiar dilakukan Natsir. Berbagai pendekatan dilakukannya kepada PNI, akan

tetapi hasilnya tetap tidak menggembirakan.

Presiden Sukarno yang tidak mau Natsir gagal dalam melaksanakan tugasnya beberapa kali mengajak Natsir bicara. Tidak hanya itu, dengan persetujuan Natsir, Bung Karno mengundang para pemimpin partai politik guna membicarakan proses pembentukan kabinet. Bahkan Presiden Sukarno mengundang pemimpin PNI, Sidik Djojosukarto dan Sarmidi Mangunsarkoro, untuk membicarakan pembentukan kabinet.

Ketika Bung Karno gagal membujuk Sidik dan Sarmidi untuk berkoalisi dalam kabinet yang sedang disusun, Natsir sampai pada kesimpulan usahanya membentuk kabinet koalisi Masyumi dan PNI, gagal. Kegagalan mengajak PNI, benar-benar menjadi beban pikiran Natsir. Suatu saat, kepada juru bicara Partai Masyumi, Anwar Harjono, Natsir mengeluh: "Apa  gerangan salah saya kepada PNI?"

Dikritik oleh Teman Separtai

Karena merasa gagal membentuk kabinet dengan basis dukungan Masyumi dan PNI, Natsir menghadap Presiden untuk mengembalikan mandat.

Dua kali Natsir menemui Bung Karno untuk mengembalikan mandat, dua kali pula Presiden menolaknya. Bung Karno malah meminta Natsir meneruskan tugasnya membentuk kabinet.

"Terus saja," kata Presiden.

"Tanpa PNI?" tanya Natsir.

"Ya. Tanpa PNI," ujar Bung Karno, tegas.

Inilah pertama kali dalam sejarah, Bung Karno "meninggalkan" PNI yang dia dirikan pada 1927 untuk  menyokong Natsir.

Natsir pun melanjutkan tugasnya, dan pada 7 September 1950 terbentuklah Kabinet Natsir tanpa keikutsertaan PNI.

Langkah Natsir itu mendapat kritik keras dari dua tokoh Masyumi: Dr. Soekiman Wirjosandjojo, dan Mr. Jusuf Wibisono.

Dalam pemungutan suara untuk memberikan kepercayaan kepada kabinet, Soekiman mengatakan terpaksa memberi kepercayaan kepada Kabinet Natsir "karena keadaan".

Jusuf Wibisono dan Boerhanoeddin Harahap, keluar dari ruang sidang sesaat sebelum voting dilakukan.

Yang menarik, jabatan Ketua Fraksi Masyumi di parlemen yang ditinggalkan oleh Natsir, justru diserahkan kepada Soekiman, orang yang menerima Kabinet Natsir "karena keadaan".

Memenuhi keputusan Muktamar, sejak dilantik menjadi Perdana Menteri, Natsir menyatakan nonaktif sebagai Ketua Masyumi. Dan jabatan Ketua Partai diserahkan kepada Jusuf Wibisono, orang yang mengeritik Natsir secara terbuka melalui media massa.

Kelak, pada 1955, Natsir mendukung penuh Boerhanoeddin Harahap --orang yang walk-out saat Natsir memerlukan suaranya-- sebagai formatur kabinet.

Begitulah cara Natsir memperlakukan para pengeritiknya. Alih-alih membabat habis, pemimpin Masyumi itu malah memberikan tempat terhormat kepada para pengeritiknya.

Anwar Harjono bercerita bahwa di kalangan Masyumi, perbedaan pendapat hal yang sangat biasa.

"Karena yang kami perdebatkan soal partai, maka kami tidak pernah menjadikan perdebatan itu soal pribadi. Kritik setajam apapun tidak pernah melukai hati, karena semuanya terukur," kata Harjono yang terkenal dengan prinsip hidupnya: "Lawan pendapat adalah kawan berpikir." Lawan pendapat bukan musuh yang harus dihabisi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement