REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – DPR RI akan meminta BPJS Kesehatan untuk meninjau kembali dan merevisi tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan. Karena ternyata dengan diterbitkannya tiga peraturan direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan tersebut dampaknya signifikan terhadap penurunan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Terutama bagi penderita katarak, mutu pelayanan ibu bersalin, dan penanganan rehabilitasi medik. Hal itu disampaikan Pimpinan/Ketua Tim kunjungan kerja spesifik tentang pengawasan pasca terbitnya tiga peraturan direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, Ichsan Firdaus, di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta.
Ichsan mengatakan dalam pertemuan ini, Komisi IX ingin mengetahui bagaimana dampak tiga peraturan direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Dirjampelkes) BPJS Kesehatan terhadap pelayanan kesehatan dan apakah ada keterlibatan profesi dalam penyusunan tiga tersebut.
Pada kesempatan ini, berbagai stakeholder terkait seperti Direktur Utama RSUP Dr Sardjito Darwito, Ketua Perdami (Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia Purjanto Tepo Utomo) DIY, Ketua POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia)DIY Diah Rumekti, Ketua IDI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) DIY Wikan Indrarto, Pengurus IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) DIY Tunjung Wibowo, dan Wakil Ketua IFI (Ikatan Fisioterapi Indonesia) DIY Widiono, memaparkan berbagai dampak terhadap pelayanan kesehatan akibat terbitnya tiga peraturan direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan.
Direktur Utama RSUP Dr Sardjito Darwito mengatakan pasien-pasien yang dirujuk di rumah sakit tipe A seperti di RSUP Dr Sardjito memang penyakitnya dengan komplikasi. Seharusnya sudah selayaknya tidak ada pembatasan. Dengan adanya tiga peraturan tersebut terjadi penurunan pasien secara drastis.
Ia memberi contoh, untuk tindakan kasus katarak di RSUP Dr Sardjito pada Juli-Desember 2017 sebanyak 221 pasien, Januari-Juni 2018 sebanyak 145 orang, dan Juli-Agustus 2018 sebanyak 41 orang. Sementara itu, bayi lahir di RSUP Dr Sardjito pada Januari-Juni 2018 (sebelum terbit tiga peraturan) ada 478 pasien dan bayi sehat lahir di rumah sakit 37 pasien, sedangkan Juli-Agustus hanya 72 pasien dan bayi sehat lahir di rumah sakit hanya tujuh pasien.
Selanjutnya tindakan di klinik rehabilitasi medik pada Januari-Juni 2018 ada 597 pasien sedangkan Juli-Agustus hanya 140 pasien. ‘’Kami khawatir pasien yang butuh pelayanan yang lebih canggih di rumah sakit tipe A ini tidak diberi rujukan, sehingga terjadi penurunan pelayanan. Operasi katarak bisa dilakukan di manapun tetapi yang khusus dengan teknik Phacoemulsifikasi harus di rumah sakit tertentu dan dokternya spesialis yang sudah terlatih. Karena itu pembatasan pasien katarak seharusnya bukan dilakukan BPJS, tetapi oleh peer group dokter masing-masing yang berkompeten,’’ ujar Darwito.
Dijelaskan, pasien yang akan melahirkan dirujuk ke RSUP Dr Sardjito itu pasti dengan sectio dan jarang yang normal karena mengalami komplikasi. Harusnya, lanjut dia, sectio itu ditanggung oleh negara, kalau tidak dilayani dengan baik akan terjadi generasi yang hilang. Kalau persalinan yang mengalami komplikasi tidak segera di sectio dan persalinannya lama, maka bayi yang dilahirkan akan mengalami afeksi dan bertambah cacat.
Dengan terbitnya tiga peraturan Dirjampelkes pasien yang melahirkan di RSUP Dr Sardjito juga terjadi penurunan drastis. Selain itu, kendala yang dihadapi oleh rumah sakit dengan terbitnya tiga peraturan Dirjampelkes adalah, pertama, kriteria-kriteria (rujukan, diagnostik, obat-obatan) yang tidak diumumkan secara resmi oleh BPJS kepada pemberi layanan akibatnya terjadi keputusan yang berbeda-beda antar cabang BPJS.
Kedua, rumah sakit harus menanggung pembiayaan saat memberikan pelayanan yang berkualitas, ketiga, perawatan bayi bermasalah sudah diklaim terpisah, tetapi skrining bayi bermasalah PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan) belum terakomodasi sehingga bayi tidak terdeteksi. Akibatnya, bayi bisa cacat dan terlambat untuk terapi.
‘’Saya khawatir pasien yang harus dirujuk ke RSUP Dr Sardjito terganjal dengan terbitnya tiga peraturan tersebut. Sehingga kalau peraturan tersebut jalan terus, yang harusnya pasien akan mengalami kehidupan yang lebih baik, justru akan menjadi beban negara. BPJS jangan sampai membuat aturan tentang wewenang profesi, tetapi aturlah tentang pembayaran, kalau terjadi kekurangan kekuangan dibicarakan. Sekarang seolah-olah BPJS menyampuri soal penyakit per pasien ini yang bahaya,’’ tegas Darwito yang juga dokter spesialis kanker ini.
Sementara itu, Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan, HM Subuh, mengatakan terbitnya tiga peraturan Dirjampelkes BPJS Kesehatan sangat mengganggu program bagaimana menurunkan angka kematian ibu dan bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Setelah mendengarkan pemaparan berbagai stakeholder, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Anshory Siregar dengan tegas menyatakan tiga peraturan direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan harus dicabut. Dan membuat peraturan itu bukan tupoksinya BPJS. ‘’Jalani saja BPJS Kesehatan mau rugi atau tidak. Pelayanan untuk rakyat kok dibatasi,’’ katanya.
Ichsan menambahkan, masukan-masukan yang diperoleh dalam kunjungan kerja khusus di RSUP Dr Sardjito akan menjadi bahan masukan saat mengundang Menteri Kesehatan dan direktur utama BPJS Kesehatan di Jakarta, pekan depan.
’’Kami akan minta penjelasan dulu kepada Menteri Kesehatan dan dirut BPJS apa alasan diterbitkan tiga peraturan tersebut. Kalau dampaknya luas bagi penurunan kualitas pelayanan kesehatan, kemungkinan kami akan minta peraturan tersebut dicabut,’’ ujar dia.