Ahad 26 Aug 2018 11:45 WIB

Sastrawan Hamsad Rangkuti Tutup Usia

Hamsad Rangkuti sudah lebih dari tiga bulan dalam keadaan koma.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Andri Saubani
Hamsad Rangkuti
Foto: dok. Republika
Hamsad Rangkuti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sastrawan, Hamsad Rangkuti meninggal dunia pada hari ini, Ahad (26/8). Kabar duka itu diketahui dari istrinya yang terus setia mendampingi hingga ketika almarhum berpulang ke rahmatullah.

"Iya, mohon doanya dan maaf atas kesalahan-kesalahan almarhum semasa hidup," kata Nur Windasari dalam pesan singkatnya, Ahad (26/8).

Sosok yang berjulukan 'Maestro Cerpen Indonesia' itu diketahui wafat sekitar pukul 06.00 WIB pagi hari ini di kediamannya, Depok, Jawa Barat. Menjelang wafatnya, Hamsad Rangkuti sudah lebih dari tiga bulan koma.

Nur Windasari belum lama ini pernah mengungkapkan, suaminya itu memerlukan perawatan medis yang lebih intensif. Tetapi, sayangnya pihak keluarga terkendala persoalan biaya yang tidak sedikit.

“Sudah tiga bulan beliau enggak sadar. Kami butuh bantuan proten dan oksigen,” tulis Nur Windasari dalam pesan singkatnya, Selasa (21/8/2018) lalu.

Dunia sastra Indonesia menempatkan Hamsad Rangkuti sebagai figur cerpenis yang unggul, sehingga menggelarinya sebagai 'Maestro Cerpen Indonesia'. Sastrawan ini lahir di Medan, pada 7 Mei 1943.

Banyak cerpen karyanya yang menuai apresiasi dari kalangan penikmat dan peneliti sastra. Sebut saja, “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu" atau “Untuk Siapa Kau Bersiul”.

Sejumlah kumpulan cerpennya yang sudah terbit, antara lain, Bibir dalam Pispot (2003), Sampah Bulan Desember (2000), Lukisan Perkawinan (1982), dan Cemara (1982). Selain menekuni penulisan cerpen, mantan pemimpin redaksi Majalah Sastra Horison itu juga piawai menulis novel. Beberapa bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, termasuk Inggris dan Jerman.

Hari-hari terakhirnya dilalui dengan kondisi sakit. Keadaan Hamsad Rangkuti mulai menurun drastis sejak mengalami pendarahan pascaoperasi pemasangan ring di kemaluannya sekitar 2011.

Pada 2016, peraih Southeast Asia Write Award (2008) itu menderita sakit jantung dan stroke ringan. Pada Mei 2018, Hamsad Rangkuti sempat masuk rumah sakit untuk menjalani operasi.

Sampai tutup usia, almarhum memerlukan pasokan oksigen setidaknya tiap dua hari sekali. Sejak terbaring sakit, pemenang Khatulistiwa Literary Award (2003) itu juga hanya bisa mengonsumsi makanan berupa proten, lantaran kendala fisik yang dideritanya. Dalam sebulan, kebutuhannya akan proten bisa mencapai 9 hingga 10 boks.

Adapun harga setiap kotaknya mencapai Rp 256 ribu, sehingga pihak keluarganya memerlukan dana rutin sekitar Rp 2,3 juta sampai Rp 2,56 juta dalam sebulan. Sesuatu yang cukup menyita kemampuan finansial yang bersangkutan.

Dihubungi terpisah, akademisi Universitas Indonesia (UI) yang juga sastrawan, Ibnu Wahyudi, menyampaikan duka cita atas kepergian Hamsad Rangkuti. Baginya, almarhum merupakan sosok yang rendah hati dan giat berkarya lantaran panggilan jiwa.

"Intensitas keterkaitannya dengan sastra dan khususnya Majalah Sastra Horison menunjukkan suatu relasi yang istimewa dan luar biasa. Mengapa demikian? Setahu saya, almarhum memang hanya hidup dari sastra," ungkap Ibnu Wahyudi saat dihubungi, Ahad (26/8).

Pria yang akrab disapa Iben itu mengakui kekagumannya pada dedikasi Hamsad Rangkuti. Beberapa karya almarhum, menurutnya, adalah pencapaian yang istimewa. Misalnya, cerpen-cerpen "Sukri Membawa Pisau Belati" atau "Bibir Pispot".

"Dan yang menimbulkan keriuhan adalah cerpennya, 'Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?'" kata Iben.

Selamat jalan, Bang Hamsad. Semoga Allah SWT menganugerahkan kepadamu surga-Nya, amiin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement