REPUBLIKA.CO.ID, Meisa (52 tahun), menunjukkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dimilikinya kepada anaknya, Ahmad (28) saat Republika berkunjung ke rumahnya. Meisa mengingat, KIS yang dipegangnya ini didapat dari petugas Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, sekitar empat tahun yang lalu.
Berdasarkan obrolan bersama tetangga, ia dan warga yang tinggal di lingkungan Tempat Penampungan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang mendapat fasilitas kesehatan dari pemerintah daerah (pemda) berupa keanggotaan KIS.
Meski jarang sampai sakit parah, ia merasa terbantu dengan adanya 'kartu perlindungan' tersebut. "Berobat paling hanya meriang-meriang saja ke klinik atau puskesmas, gratis," ujar Meisa sambil mengawasi pengangkutan sampah plastik ke pick up di halaman rumahnya.
Sehari-hari, selain bertugas di dapur, ia juga membantu suaminya memilih sampah berharga yang bisa dijual ke pengepul besar. Warga RT 004 RW 03 Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, ini sudah puluhan tahun tinggal di wilayah yang berdempetan dengan gunungan sampah terbesar di Indonesia tersebut.
Menurut dia, masalah bau sampah memang menjadi 'makanan' sehari-hari baginya dan keluarganya. Namun, kondisi sekarang ini tidak terlalu merisaukannya lantaran baunya tidak terlalu menyengat dibandingkan dahulu.
"Saya belum pernah sampai berobat (serius) ke dokter. Karena sehat-sehat saja, adanya (KIS) jarang dipakai, tapi memang bermanfaat," ujar Meisa sembari tersenyum mengingat pengalamannya ke dokter klinik.
Baca juga, BPJS Ketenagakerjaan Perluas Desa Sadar Jaminan Sosial.
Ahmad membenarkan pernyataan ibunya, dengan menyatakan, warga Kelurahan Sumur Batu memang jarang sampai sakit parah, meski setiap harinya bergelut dengan tumpukan sampah. "Saya juga cuma sakit-sakit biasa saja, cukup ke puskesmas," kata Ahmad yang bekerja sebagai pemulung membantu ayahnya.
Menurut dia, pengalaman tidak mengenakkan terkait sampah sempat dirasakan anaknya yang masih balita bernama Meila. Ahmad menuturkan, beberapa waktu lalu, anaknya sempat mengalami sakit agak parah hingga dibawa ke rumah sakit di Kota Bekasi. Setelah diperiksa, ternyata anaknya yang masih balita mengalami sesak napas. Dia tidak tahu persis, penyakit yang diderita anaknya lantaran istrinya yang mengetahui hasil diagnosis dokter.
Sebagai warga yang hidup serba pas-pasan, ia memang sempat waswas dengan biaya konsultasi dokter. Hal itu lantaran pendapatannya kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.
"Memang tidak terlalu bau bagi saya yang sudah biasa dan dewasa, tapi daerah ini rawan kesehatan juga buat anak-anak. Pernah anak saya dirawat di rumah sakit, mungkin karena lingkungan sini udaranya tak bagus, jadi sering sakit. Tapi semua bisa dikover biayanya," ujar Ahmad.
Dia melanjutkan, proses perawatan anaknya di rumah sakit tidak terlalu berbelit. Dia hanya perlu antre mengurus dan memproses administrasi, serta surat rujukan dari puskesmas hingga anaknya dirawat. Setelah sehat, ia dan istri merasa lega setelah dokter membolehkan anaknya pulang untuk menjalani rawat jalan. Ahmad mengaku, tidak ada proses diskriminasi sebagai warga pemegang KIS.
Berdasarkan pengakuan dari para tetangganya juga, ungkap Ahmad, mereka memang merasa terbantu dengan adanya KIS sehingga tidak perlu pusing lagi ketika berobat. Hal itu bisa dipahami lantaran rata-rata warga Kelurahan Sumur Batu termasuk golongan ekonomi standar, meski bukan kategori miskin juga.
"Sepengetahuan saya, semua warga berdomisili dan ber-KTP sini dapat KIS dari pemerintah. Mereka juga yang bayar, kayaknya sebagai dana kompensasi bau," kata Ahmad.
Warga Kelurahan Sumur Batu lainnya, Gosang (80) yang rumahnya berdempetan dengan tembok pembatas TPST Bantargebang menuturkan, masalah kesehatan memang menjadi perhatian serius dirinya maupun tetangganya. Beruntung, kata dia, semua warga memiliki kartu berwarna merah yang dapat digunakan untuk keperluan berobat ke klinik, puskesmas, hingga rumah sakit tanpa perlu memikirkan biaya.
Sejumlah pekerja mengemas sampah-sampah plastik di kawasan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.
"Di sini memang bau, tapi lama-lama sudah biasa. Masalah air juga bau, sumur tak bisa diminum. Buat mandi saja bau, jadi harus beli. Tapi warga kalau sakit sudah punya KIS," ujar Gosang yang mengaku tinggal di situ sejak 1970-an, sebelum ada TPST Bantargebang.
Pegawai Unit Pelaksana Teknis (UPT) TPST Bantargebang, Alex yang ditemui usai berkeliling memeriksa truk pengangkut sampah mengatakan, ia menyadari bekerja di lingkungan tidak sehat sehingga perlu memperhatikan kesehatannya. Untuk itu, ia memilih melakukan langkah pencegahan agar tidak sampai mengalami sakit.
"Perbanyak olahraga dan minum multivitamin. Saya juga check up rutin ke klinik, gratis karena semua pegawai sini dapat BPJS Kesehatan," ujar Alex yang duduk di motor CBR 150.
Alex yang sudah 10 tahun menjadi bekerja di lingkungan yang dipenuhi gunungan sampah mengaku, bersyukur tidak pernah sampai mengalami sakit parah. Namun, ia tetap merasa terbantu dengan adanya proteksi memegang kartu BPJS Kesehatan.
"Mungkin saya sudah terbiasa dengan bau di sini, jadi tak masalah. Pegawai di sini seluruhnya 750 orang, semua dapat BPJS Kesehatan," kata Alex.
Kepala BPJS Bekasi Siti Farida Hanoum mengatakan, jumlah warga Kota Bekasi, termasuk dari Kecamatan Bantargebang yang bergabung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus meningkat dari waktu ke waktu. Kalau pada awal 2017, masih ada 44 persen warga yang belum bergabung dengan layanan BPJS Kesehatan maka periode yang sama tahun ini jumlah yang ikut meningkat drastis. "Kepesertaan yang sudah terdaftar 84 persen, dan kurang 26 persen lagi," ujar Hanoum kepada Republika.
Hanoum menuturkan, pembuatan nota kesepahaman (Mou) dengan Pemkot Bekasi terbuktif efektif meningkatkan jumlah kepesertaan di masyarakat. Solusi yang ditempuhnya, yaitu setiap orang bisa mengurus keanggotaan BPJS di kantor kelurahan dan kecamatan. Hanoum pun berharap, pada tahun depan, semua warga Kota Bekasi tercatat menjadi anggota BPJS Kesehatan.