Sabtu 25 Aug 2018 11:54 WIB

Pekak Telinga dan Rabun Mata Suara Adzan Serta Masjid

Suara masjid dan keberadaan masjid ternyata menjadi penanda politik umat Islam.

Lukisan Bilal tengah adzan. Sebuah karya lukisan pada abad ke 14.
Foto:
Masjid Istiqlal

Lalu bagaimana keberadaan adzan dan masjid usai datang masa Orde Baru? Kala itu oleh sang tokoh itu menengarai dengan cukup mengejutkan.’’Kini (kala itu akhir 1980-an), pembangunan masjid ada di mana-mana.  Suara adzan menjadi ramai dan semakin kencang)” katanya. Salah satu penanda lainnya juga dengan berdirinya Masjid Salman di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). UGM belum punya masjid dan untuk kegiatan Ramadhan dan Shalat Jumat masih memakai gelanggang mahasiswa.

Memang, sang penguasa Orde Baru, pada awalnya gamang terhadap posisi umat Islam dan masjid. Tapi sejak pecahanya tragedi Tanjung Priok seiring munculnya fenomena pengunaan jilbab (dengan salah satu tanda lainnya adalah lagu Bimbo-Taufiq Ismail: Aisyah Adinda Kita),  dan hasil 'panen' pendidikan akibat bersekolahya anak-anak santri, saat itu politik kekuasaan malah makin deras mendorong pendirian masjid. Alhasil, berdirilah masjid bercorak arsitektur Joglo: Masid Muslim Pancasila. Presiden Soeharto mendirikan masjid ini tak tanggung-tanggung jumlahnya dengan mencapai 999 masjid. Di itu pendirian masjid makin marak dan suasana adzan kian membahana.

Salah satu wilayah masa kini yang dianggap paling terkena imbasnya itu adalah wilayah Jakarta. Bila masjid ini dahulu hanya sekelas langgar dan reyot, kini sudah berubah menjadi bangunan megah. Setiap kampung dan kompleks di wilayah Betawi ini pasti ada masjid dan ramai terdengar suara adzan. Masjid bergaya moderen yang diawali dibangun di Masjid Al Azhar pada tahun 1970-an oleh Buya Hamka, kini ada di seantero lima penjuru tanah Betawi itu.

photo
Masjid A-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan

Lalu apa ada yang merasa bising atau terganggu dengan keberadaan masjid dan adzan di Jakarta? Jawabnya, jelas ada karena sama halnya dengan resahnya sebagian orang Islam dengan begitu risau maraknya pembangunan rumah ibadah non muslim di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Jadi semua pihak harus arif melihat kenyataan ini. Ada nasihat bijak dari guru besar falsafah dan kebudayaan Islam Universitas Paramadina, Jakarta, Prof DR Abdul Hadi WM. Menurutnya, justru kaum pendatanglah yang harus menyesuikan diri, bukan penduduk asli yang harus mencocokan situasi.

‘’Kampung-kampung Betawi dari dahulu kala selalu begitu. Suara adzan, takbir hari raya, dan keberadaan masjid adalah hal yang biasa. Jadi kaum urban itulah yang harus mencocokannya dengan adat istiadat setempat. Jangan di balik, orang asli malah harus menyesuaikan dengan pendatang. Ini baru adil. Ini baru Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab.’’ katanya dalam sebuah perbicangan.

Kalau begitu siapa itu yang gatal telinga dan sakit mata dengan suara adzan dan masjid? Apalagi di Kroasia misalnya, kala hari Minggu saya juga mendengar suara lonceng gereja yang bertalu-talu sepanjang waktu di pusat kota. Dalam kazanah lainnya, meletusnya 'Geger Banten' (Pemberontakan Petani Banten pada tahun 1888), juga bermula ketika ada seseorang (kala itu tuan Residen di Lebak ) merasa terganggu dan berisik atas suara adzah yang mengganggu tidur siangnya.

photo
Lasykar rakyat dalam pemberontakan petani dan ulama di Banten, tahun 1888.

Entah akan ke mana sejarah bangsa ini? Apakah akan mengulang tragedi? Semoga tak jadi keledai yang jatuh di lubang sama dua kali!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement