REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut jumlah titik panas (hotspot) di Kalimantan Barat (Kalbar) pada tahun 2018 kini lebih tinggi dari pada tahun 2015 lalu. Pada tahun 2015 jumlah hotspot di Kalimantan Barat mencapai 6.156 hotspot sedangkan sekarang sebanyak 6.687 hotspot.
"Update yang terbaru khusus Kalbar menunjukkan bahwa jumlah titik panas tahun 2018 lebih tinggi dari tahun 2015," kata Kabag Humas BMKG Hary Djatmiko saat dihubungi, Jumat (24/8).
Adapun untuk Provinsi lain, kata Hary sejauh ini tidak menunjukkan peningkatan peningkatan hotspot yang cukup signifikan. Untuk daerah Sumatra Selatan saja jumlah hotspot saat ini hanya 399, berbeda jauh dengan jumlah hotspot pada tahun 2015 yang mencapai 21.767.
"Sejauh ini tidak ada (potensi peningkatan dari Provinsi lain)," kata dia.
Indonesia-Australia Kerja Sama Pengukuran Karbon Kredit
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebutkan, wilayah yang cukup signifikan mengalami peningkatan titik panas yaitu Kalimantan Barat 6.687 hotspot, Kalimantan Tengah 1.266, Jambi 215 titik dan Sumatra Selatan 399 titik panas, Papua 622, dan Riau 1.239 hotspot.
Peningkatan jumlah titik panas ini, kata dia, diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar.
"Kondisi tersebut perlu diperhatikan, agar tidak diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar," kata Dwikorita di Jakarta.
Karena itu, kata dia, BMKG terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Daerah, Instansi terkait, dan masyarakat luas untuk terus meningkatkan kesiap-siagaan dan kewaspadaan. Terutama terkait potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih.
"Yang perlu diwaspadai adalah dampak paparan kabut asap jika sampai terbakar karena sangat berpotensi menganggu kesehatan," kata dia.