Jumat 24 Aug 2018 13:05 WIB

Kurban dan Kebangsaan

Kurban mengajarkan perubahan dan semangat berbagi kepada sesama manusia.

Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute (TYI) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan kuliah umum di Gedung Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (15/11).
Foto: Antara/Rahmad
Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute (TYI) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan kuliah umum di Gedung Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (15/11).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono, Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute (TYI)

Memasuki usia 40 tahun, alhamdulillah saya memperoleh hadiah terindah dari Allah Swt: perjalanan haji bersama istri tercinta.

Alhamdulillah semua proses berjalan lancar dan mengesankan, terutama saat wukuf di Arafah, tanggal 10 Dzulhijjah lalu. Berada di padang Arafah, hanya dengan dua lembar kain, bersama jutaan Muslim dan Muslimah dari seluruh dunia, saya seperti melihat kilas balik kehidupan saya dan membuat saya merenung.

Pada waktu yang sama, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Adha. Di Indonesia, kita lebih akrab dengan istilah Hari Raya Kurban. Idul Adha merupakan momentum historis saat Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk mengorbankan sang buah hati yang telah lama dinantikan kehadirannya, Ismail as, sebagai ujian ketaqwaan dan kepasrahannya kepada Tuhan semesta alam.

Karena keteguhan hati dan keimanan Ibrahim as beserta putranya Ismail as, Allah kemudian mengganti penyembelihan dengan seekor domba.

Riwayat kenabian Nabi Ibrahim as itu tentu familiar bagi kita semua, karena setiap tahun umat Islam sedunia memperingatinya. Kendati demikian, hakikat makna dan nilai-nilai yang terkandung dari ibadah kurban ini selalu relevan dan kontekstual untuk terus menerus direfleksikan sebagai pengingat komitmen moral, utamanya bagi para pemimpin bangsa, untuk senantiasa mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongannya. 

Secara umum, sebagaimana sering disampaikan oleh para cendekiawan Muslim (Rahman, 1990; Hidayat, 2010; Madjid, 2004), kurban setidaknya mengandung dua makna dasar.

Pertama, kurban berarti dekat, yang artinya, kurban merupakan praktik ibadah yang mengekspresi ketaatan sekaligus kepasrahan diri seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua, kurban juga memiliki makna binatang sembelihan yang dikeluarkan sebagai wujud pengorbanan sebagian rizki untuk berbagi kebahagiaan dengan para anggota masyarakat yang berhak menerimanya.

Kedua makna kurban tersebut jelas menegaskan bahwa Islam mengajarkan kepada kita agar senantiasa menyeimbangkan antara kesalehan vertikal dan juga kesalehan horizontal. Kesalehan vertikal akan kehilangan makna jika tidak diimbangi dengan kesalehan horizontal. Demikian pula sebaliknya, kesalehan horizontal akan terasa kering jika tidak dilandasi oleh kesalehan vertikal.

Dalam konteks kenegaraan, nilai-nilai adiluhung ibadah kurban menjadi pengingat yang sangat efektif bagi para pemimpin dunia untuk senantiasa menjaga keteguhan hati mereka untuk mengutamakan nasib dan kepentingan rakyatnya.

Laiknya Ismail putra Ibrahim as, kekuasaan hanyalah titipan yang sewaktu-waktu akan diminta dan harus dikembalikan kepada yang Maha Memiliki. Karena itu, saat memegang amanah kepemimpinan, ikhtiar terbaik harus dilakukan guna menghadirkan kemashalatan yang lebih besar.

Semangat kurban juga menyiratkan pesan luhur bagi setiap umat manusia untuk berani mengorbankan, memotong, atau bahkan ‘menyembelih’ setiap nafsu dan sifat-sifat kebinatangan yang tertanam di dalam jiwa setiap insan.

Adagium klasik 'homo homini lupus’ atau yang berarti ‘manusia adalah serigala bagi sesamanya’, merupakan penegasan karakter manusia yang apabila tak mampu mengendalikan dirinya, jiwanya akan dipenuhi oleh nafsu keserakahan.

Untuk itu, manusia diminta berlatih untuk berani menyembelih apa-apa yang menjadi kecintaannya, termasuk pangkat dan jabatan.

Dalam konteks kenegaraan, ibadah kurban mengingatkan kepada kita untuk semakin matang dan dewasa di dalam mengelola hasrat, nafsu dan syahwat kekuasaan. Semangat dasar perjuangan di medan politik harus senantiasa diorientasikan kepada kepentingan rakyat dan nilai-nilai kebangsaan.

Spirit itu selaras dengan apa yang seringkali diajarkan oleh para Kiai, Ulama dan guru-guru kita, bahwa kebijakan seorang pemimpin harus didasarkan kepada kemaslahatan rakyat yang dia pimpin.

Selain mengajarkan semangat perubahan, ibadah kurban juga mengajarkan kepada kita untuk berbagi kepada sesama, khususnya mereka yang tidak mampu. Ajaran berbagi ini sarat dengan pesan-pesan moral berdimensi sosial, yang relevan untuk mengatasi tren menguatnya karakter individualisme dan apatisme dalam perkembangan masyarakat modern.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement