REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK -- Jalur pendakian Gunung Rinjani masih tertutup. Tak hanya bagi para pendaki, melainkan juga para petugas di Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).
Gempa beruntun yang melanda Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), sejak Ahad (29/7) hingga kini, menjadi penyebabnya. Saat gempa pada Ahad (29/7), 1.226 pendaki berada di Gunung Rinjani. Perinciannya, 696 warga negara asing (WNA) dan 530 warga negara Indonesia (WNI). Seluruhnya telah dievakuasi pada Selasa (31/7). Akibat gempa, satu pendaki bernama Muhammad Ainul Taksim (26 tahun) asal Makassar, Sulawesi Selatan, meninggal dunia diduga tertimpa batu longsoran.
Titik kerusakan terparah pada gempa Ahad (29/7) memang berada di sekitar kawasan TNGR, mulai dari Kecamatan Sembalun dan Sambelia di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) serta Kecamatan Bayan di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Hal ini yang membuat Balai TNGR menutup jalur pendakian untuk sementara waktu.
Kepala Balai TNGR Sudiyono mengatakan, penutupan jalur pendakian dimanfaatkan tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian ESDM untuk melakukan survei kondisi di Gunung Rinjani pada Sabtu (4/8). Tim survei kala itu tidak sampai ke Pelawangan mengingat kondisi tanah sudah retak dan cukup berisiko jika melanjutkan perjalanan. Dalam hasil survei sementara, ditemukan dugaan terjadi pemisahan antara lempengan tanah satu sama lain dalam jarak yang berdekatan.
"Ini diindikasikan dari petugas vulkanologi tersebut ketika berdiri, yang satu rasakan gempa cukup besar, yang satu katakan tidak terasa. Itu boleh dikatakan ada dugaan meskipun dekat ada pemisahan, posisinya di pos tiga plus sebelum Pelawangan," ujar Sudiyono kepada Republika.co.id di Mataram, NTB, Rabu (22/8).
Tim evakuasi pendaki Gunung Rinjani pascagempa di Lombok Timur.
Hasil survei sementara juga mengungkap fakta keadaan tanah di Gunung Rinjani dalam kondisi sangat labil. Hal ini tentu sangat berisiko bagi pendaki. Dalam kondisi musim kemarau, kondisi tanah yang labil berpotensi membuat longsor dari atas gunung karena angin yang kencang dan akan terus membesar ke hingga bawah.
"Bayangkan ketika ada tumpukan pasor kena angin bisa goyang, apalagi ini bukit yang seperti itu, angin kencang ketika musim kemarau kalau ada batu sebesar kepala manusia jatuh satu, itu nanti menimpa yang di bawahnya terus sampai ke bawah bisa berlipat-lipat, itu risiko ketika kemarau," lanjutnya.
Tatkala musim penghujan tiba, risiko yang dihadapi juga tak kalah riskan menyebabkan longsor. Terlebih dengan banyaknya retakan tanah yang ada saat ini berpotensi menjadi jalur untuk air mengalir dalam skala yang besar saat hujan tiba.
"Kalau air masuk lewat jalur retakan itu akan jadi luncuran tanah yang ada di atasnya, itu sangat berisiko," ucap dia.
Alasan-alasan ini lah yang membuat Sudiyono memperkirakan penutupan jalur pendakian bisa sampai tahun depan. Biasanya, Rinjani memang ditutup sementara bagi pendaki pada rentang tiga bulan pertama di awal tahun lantaran rekomendasi cuaca dari BMKG.
"Kalau dugaan kita (penutupan) sampai tahun depan, jadi dikatakan stabil kalau sudah diuji dengan curah hujan. Seperti tahun lalu, curah hujan sampai April," katanya.
Ia memperkirakan kerusakan di jalur pendakian kian meluas pascagempa susulan dengan kekuatan yang tidak kalah besar seperti yang terjadi pada Ahad (5/8) maupun Ahad (19/8).
Pada gempa Ahad (29/8), longsor hanya melanda bagian dalam di kawasan Gunung Rinjani, berkisar di Pelawangan dan Danau Segara Anak. Namun, longsoran pada gempa susulan meluas hingga ke bagian terluar di beberapa titik lereng Gunung Rinjani seperti di Bukit Pegangsingan dan Bukit Anak Dara di Kecamatan Sembalun.
"Yang luar dulu tidak terdampak, sekarang terdampak, apalagi yang bagian dalam, kemungkinan besar dugaan kita lebih parah," lanjutnya.
Pendaki Gunung Rinjani yang sempat terjebak longsor akibat gempa bumi tiba di Pos Bawaknao, Sembalun, Lombok Timur, NTB.
Akibat gempa susulan, Kantor Resor TNGR di Sembalun, Lotim dan Senaru, KLU, mengalami kerusakan dan tidak bisa ditempati. Peralatan yang ada sementara waktu ditaruh di rumah kepala resor.
"Gempa-gempa terakhir memperparah di dalam kawasan, dan petugas kita juga belum berani masuk karena keluarganya juga terkena musibah dan kita larang (petugas masuk) karena sangat berisiko," ujarnya.
Mengenai jalur pendakian di masa mendatang, Sudiyono mengungkapkan sejumlah skenario. Balai TNGR akan melakukan survei evaluasi mendalam dan menyeluruh pada jalur pendakian melibatkan tim ahli dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana hingga para pecinta alam yang sudah berpengalaman. Hasil survei akan menentukan nantinya apakah jalur pendakian tetap menggunakan jalur lama, jalur baru, atau kombinasi keduanya.
"Mungkin ada (gunakan) jalur lama tapi kemungkinan besar jalur baru. Kalau tidak berisiko bisa pakai jalur lama, tapi kalau berisiko kita ambil alternatif kedua," tambah dia.
Sudiyono berkeyakinan masyarakat tidak akan 'bandel' untuk nekat masuk ke dalam kawasan pada masa tanggap darurat bencana mengingat gempa susulan acapkali masih terjadi. Namun, pada jangka waktu lebih dari tiga bulan, dia khawatir adanya masyarakat yang nekat masuk ke dalam kawasan untuk melayani pendaki dan lainnya.
"Sekarang masyarakat trauma mungkin sampai satu-dua bulan ke depan, tapi tiga bulan ke depan ini yang perlu antisiapsi karena mereka perlu pencahariannya, kadang kalau sudah menyangkut perut perlu dipertimbangkan juga pemerintah solusinya seperti apa," katanya.