Selasa 21 Aug 2018 11:43 WIB

Saatnya Pisahkan yang Haram

Seremoni besar-besaran pengembangan ekonomi syariah namun hasilnya jalan di tempat.

Ekonomi syariah (ilustrasi)
Foto: Islamitijara.com
Ekonomi syariah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald*

Bagi sebagian dari kita, membaca kalimat di atas terkesan ekstrim. Namun bagi penulis hal itu diperlukan bila Indonesia benar-benar ingin menjadi Islamic economic hub.

Tidak perlu lagi ada wacana atau seremoni besar-besaran pengembangan ekonomi syariah namun ternyata hasilnya malah jalan di tempat. Bayangkan semenjak Gerakan Ekonomi Syariah (GRES) yang dicanangkan pada 2013 oleh Presiden kelima RI, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga kini pengembangan ekonomi syariah belum tampak nyata.

Republika masih ingat seremoni tersebut berupa pelepasan balon putih biru yang begitu semarak. Semua orang dan petinggi perbankan syariah yang datang begitu menaruh harapan besar terhadap gerakan tersebut.

Hanya saja setelahnya pengembangan ekonomi syariah seakan-akan jalan ditempat.Padahal siapa yang menyangsikan bila ada seseorang yang mengatakan, "Indonesia berpotensi menjadi pemimpin dalam pengembangan ekonomi syariah dunia."

Bayangkan, populasi muslim di Indonesia mencapai 85 persen dari 270 juta penduduk. Akan tetapi, kok malah ekonomi Islam di Indonesia malah jalan di tempat. Hal ini juga diamini Menteri Koordinator Ekonomi, Darmin Nasution dalam sambutan High Level Discussion Indonesia: Pusat Ekonomi Islam Dunia, di Kantor Bappenas beberapa waktu lalu. Ya kalau Menteri Koordinator yang juga mantan Gubernur Bank Indonesia saja bingung apalagi orang awam.

Secara umum leading sector dari ekonomi syariah di Indonesia, yaitu bank syariah berdasarkan catatan Republika di 2017 hingga 2018 pangsa pasarnya masih dikisaran 5,7 persen. Sementara asuransi dan pembiayaan syariah masih di bawah angka tersebut.

Namun sebuah harapan besar muncul, meski lagi-lagi baru wacana. Lembaga yang dipimpin langsung Presiden Joko Widodo, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) mengusulkan adanya penghitungan produk domestik regional bruto (PDRB) syariah untuk semua sektor terkait industri halal dan syariah.

Penghitungan ini menurut penulis penting untuk mengetahui seberapa besar dan dalamnya ekonomi syariah di tanah air. Lagipula bila ingin menjadi pemimpin ekonomi syariah Indonesia, PDRB yang halal dan haram memang layaknya di hitung terpisah. Sementara untuk pemerintah, langkah dasar ini penting untuk merumuskan strategi lanjutan ekonomi syariah nasional.

Langkah ini, menurut Penanggung Jawab Harian KNKS Pungky Sumadi sedang didalami dengan Badan Pusat Statistik. Konsep penghitungannya sedang diatur oleh BPS. Lagipula, secara jujur ia mengakui saat ini KNKS sama sekali belum punya data besarnya nilai industri halal. Padahal industri halal adalah salah satu bagian dari rencana induk (masterplan) ekonomi syariah.

Sementara itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas yang juga Sekretaris KNKS Bambang Brodjonegoro mengatakan, beberapa negara mengklaim diri sebagai pusat ekonomi syariah atau keuanga syariah. Oleh karena itu KNKS ingin memberi arah yang jelas kemana ekonomi syariah Indonesia akan berjalan.

Hal itu bisa diawali dari mendefinisikan industri halal.  "Apakah kita  punya standar sendiri? Kita benahi dari dasar dulu. Lalu pilih  industri yang kompetitif," kata Bambang di Bappenas.

Kalau boleh jujur, Malaysia saat ini dengan pangsa perbankan syariah mencapai 20 persen bisa disebut pemimpin ekonomi syariah. Sementara Indonesia hanya lima persen itupun sedikit terangkat dengan konversi Bank Aceh menjadi Bank Syariah Aceh.

Namun jangan lupa perbankan syariah di Indonesia terbentuk di tahun 1992, yaitu Bank Muamalat dari umat Islam tanpa bantuan pemerintah. Kebanyakan juga berkembang sebagai bank retail alias consumer banking. Bank Indonesia dalam buku 'Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia' bahkan menyebut perbankan Islam Indonesia sebagai the biggest retail Islamic banking di dunia.

Saat ini total nasabah bank syariah, berdasarkan data OJK mencapai 22 juta orang. Sebuah angka fantastis bagi sebuah negara, meski cukup memilukan bila dilihat dari jumlah penduduk muslim Indonesia. Namun justru kekuatan tersembunyi ada pada industri halal lokal.

Angkanya pun tak pernah diketahui karena belum pernah ada pemisahan data sebelumnya. Sebuah angka potensial terucap dari mulut Bambang Brodjonegoro soal peran ekspor halal Indonesia. Berdasarkan data Comtrade tahun 2017, peran ekspor produk halal Indonesia mencapai 21 persen dari total ekspor. Belum lagi total pelancong muslim Indonesia, yang tentu saja mencari makanan halal sebagai santapan.

Bila ditilik lebih jauh saat ini, Indonesia masuk dalam kategori lima besar destinasi pariwisata halal dunia. United Nations World Tourism Organization (UNWTO) Highlights mencatat penerimaan devisa negara Indonesia dari sektor pariwisata halal mencapai Rp 189,6 triliun dan kontribusi ke PDB sebesar Rp 840 triliun.

Angka luar biasa ini belum terhitung dari sektor kosmetik, makanan maupun ekspor produk halal ke seluruh dunia. Maka, sudah saatnya negara memilah PDRB produk halal untuk fokus menjadi yang nomor satu untuk ekonomi syariah.

Terkait halal-haram, Republika jadi teringat ketika mewawancarai mantan Dirut BNI Syariah Imam Teguh Saptono di sekitaran tahun 2013.

Ketika itu ia menjabat sebagai Direktur Bisnis BNI Syariah, dan Republika menanyakan cara tepat meningkatkan ekonomi syariah.

Ia ketika itu mengatakan, sudah saatnya pendidikan agama Indonesia mengenalkan halal-haram, tak hanya di sektor makanan namun juga beragam hal termasuk tabungan."Bayangkan bila berdasarkan hadist makan makanan haram, amal ibadahnya tak diterima 40 hari, lalu bagaimana dengan bertransaksi secara haram yang kita lakukan tiap hari," ucap dia mengakhiri pembicaraan.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement