Ahad 19 Aug 2018 08:44 WIB

Berani Cantik dengan Suntik Filler?

Tahukah Anda, Indonesia tidak punya aturan baku terkait praktik tindakan kecantikan.

Wanita melakukan perawatan kulit di klinik kecantikan.
Foto: Republika/Darmawan
Wanita melakukan perawatan kulit di klinik kecantikan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Indira Rezkisari*

Tidak puas dengan bentuk tubuh atau bentuk wajah atau warna kulit rasanya sangat biasa. Pasti ada bagian-bagian tertentu diri yang diharapkan bisa lebih mancung, lebih tirus, sampai lebih putih.

Maka, jangan heran kalau ada banyak cara instan untuk mencapai penampilan sesuai keinginan. Terapi laser untuk menghilangkan bekas jerawat, suntik vitamin supaya kulit lebih putih, hingga pemasangan filler agar bagian tubuh tertentu tampak lebih menawan.

Upaya untuk ‘memperbaiki’ diri secara instan tersebut juga dengan mudah ditemukan informasinya. Cek saja tagar-tagar tertentu di Twitter atau Instagram. Pasti Anda akan segera menemukan jasa pemancung hidung, jasa pembesar alat kelamin, sampai jasa perapat bagi yang membutuhkannya.

Tak heran waktu seorang selebgram mempromosikan jasa filler yang dilakukan sendiri, publik bereaksi keras. Separuhnya bereaksi dengan menyambut baik promosi sang selebgram agar mungkin bisa tampil seperti dia. Separuhnya lagi mengutuk karena memandang promosi tersebut tak patut alias melanggar etika karena bisa membahayakan pelakunya.

Untungnya tak lama setelah dikritik, sang selebgram langsung menghapus unggahan promosinya. Semoga alasan penghapusannya, karena dia memang sadar bahwa upaya suntik sendiri itu sangat berbahaya.

Dalam dunia kecantikan atau kesehatan, sesungguhnya tidak ada yang instan. Memiliki kulit yang lebih cerah tentu bisa. Tapi butuh waktu. Berharap memiliki kulit putih, jika terlahir sawo matang baru tidak bisa.

Dr Syarief Hidayat, SpKK, FINSDV, FAADV, sebagai Ketua League of ASEAN Dermatological Societies, mengungkap sejumlah bahaya praktik kecantikan yang dilakukan tanpa supervisi tenaga medis yang tepat. “Filler itu bukan cuma asal suntik,” kata dia.

Ada dampak fatal yang sangat mungkin terjadi jika mencoba melakukan suntikan filler tanpa keahlian medis. Bahayanya, kata Dr Syarief, adalah kemungkinan menekan pembuluh darah di wajah yang menyebabkan kerusakan hidung atau bahkan filler yang diinjeksikan ke pembuluh darah dan akhirnya malah berjalan-jalan di tubuh. Praktik filler yang salah injeksi dan menyebabkan kebutaan disebutnya bahkan telah terjadi di Indonesia.

Bukan hanya suntik filler yang patut diwaspadai. Suntik vitamin C yang dilakukan sendiri juga memiliki efek yang tak kalah berbahayanya bagi tubuh.

Injeksi vitamin C dosis tinggi bisa memicu penyakit ginjal, yaitu menyebabkan terbentuknya batu ginjal, mengakibatkan ginjal rusak, atau menyebabkan penyakit di saluran kencing. Efek pemberian vitamin C dalam bentuk suntikan memang tidak beracun. Tapi kadarnya yang terlalu tinggi bisa menimbulkan dampak samping, seperti kram, mual muntah, atau diare.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) DR. Dr. M. Yulianto Listiawan, SpKK(K), FINSDV, FAADV, ditemui beberapa waktu lalu di Regional Conference on Dermatology di Surabaya, Jawa Timur, mengakui Indonesia belum memiliki aturan baku terkait praktik kecantikan dan beragam terapi atau tindakan kecantikan.

Jangan heran bila tindakan terkait kecantikan atau kesehatan kulit masih bisa dilakukan oleh mereka yang sebenarnya tidak memiliki kecakapan medis untuk melakukannya. Misalnya dokter umum memberikan konsultasi di bidang kesehatan kulit. Sebuah bidang yang harusnya menjadi ranah dokter spesialis kulit dan kelamin. Atau lebih ngerinya lagi, tindakan tersebut dilakukan mereka yang sebelumnya hanya kursus-kursus singkat saja sebelum praktik.

Karena belum diatur, jangan heran kalau Anda ke klinik kecantikan dan bersedia melakukan sebuah tindakan tidak akan ada selembar surat persetujuan yang harus ditandatangani pasien lebih dulu. Padahal form of consent itu sangat penting. Mereka yang akan menjalani operasi, misalnya melahirkan secara Caesar atau operasi usus buntu diharuskan menandatangani surat persetujuan yang membuat pasien sadar akan risiko atau komplikasi yang mungkin timbul dari tindakan.

“Tanpa form of consent ini, ada efek samping yang dikesampingkan,” katanya. Pasien jadi tidak diberi tahu apa kemungkinan negatif yang bisa terjadi.

Dr Syarief menambahkan, Perdoski dan organisasi dokter kulit yang dibawahinya tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan terkait panduan bagi pelaku tindakan di bidang kecantikan dan kesehatan kulit. Pengambilan kebijakan, pembuat kebijakan, terletak di Kementerian Kesehatan. Yang bisa dilakukan mereka sebatas membuat imbauan agar dokter berpraktik sesuai kompetensinya.

“Saya, sebagai dokter kulit dan kelamin, ya bisa bikin hidung. Tapi aturan mengatur saya harus merujuk mereka yang ingin operasi hidung ke dokter bedah,” kata Dr Syarief. Aturan tersebut dikatakannya sebagai bentuk profesionalisme di bidang kedokteran.

Regulasi atau panduan tersebut sebenarnya sangat penting demi keselamatan pasien. Indonesia tergolong ketinggalan dalam urusan ini. Negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia mengatur hanya tenaga professional bersertifikat yang bisa melakukan tindakan di bidang kecantikan. Di Malaysia sertifikat dikeluarkan oleh lembaga IDI atau Ikatan Dokter Indonesia setempat.

Lain kali Anda tergoda untuk melakukan tindakan laser, suntik botox, atau suntik vitamin untuk mencerahkan kulit sebaiknya tanya dulu. Pastikan keselamatan pasien menjadi prioritas dan jangan terlalu berharap pada hal instan.

Alih-alih berhidung mancung, Anda tidak ingin kan justru mengalami infeksi. Atau sampai gagal ginjal?

Dr Yulianto Listiawan mengatakan pihaknya sudah selama tiga tahun mengusulkan adanya aturan baku tersebut ke Kementerian Kesehatan dan Konsil Kedokteran. Wajarnya pendidikan bagi terapis kecantikan baru bisa dilakukan setelah menjalani pendidikan di bidangnya. Bukan semata dari kursus saja. Di Malaysia katanya terapis kecantikan harus sekolah selama tiga tahun. Di Indonesia? Entah, hanya klinik kecantikan yang tahu pembekalan apa yang mereka berikan.

Saya sih terus terang cukup takut membayangkan melakukan injeksi filler tanpa panduan dokter yang sesuai bidangnya. Bagaimana dengan Anda, berani?

*Penulis adalah Redaktur Gaya Hidup Republika.co.id.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement