REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Tepat di Hari Kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia pada Jumat (17/8), pemerintah memberikan Remisi Umum (RU) sebanyak 102.976 narapidana yang telah menjalani pidananya dengan baik. Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami menjelaskan, RU tersebut dibagi dalam dua tahap.
Paada RU tahap I sebanyak 100.776 narapidana mendapat pemotongan masa pidana sebanyak satu sampai tiga bulan dan harus menjalani sisa pidananya. Sedangkan, untuk RU tahap II sebanyak 2.220 narapidana langsung menghirup udara bebas.
Utami menjelaskan, remisi diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif. Khususnya, mereka yang berkelakuan baik dan aktif mengikuti pembinaan.
“Remisi selayaknya menjadi harapan bagi narapidana sehingga mereka menyadari akan pentingnya menegakkan integritas selama menjalani pidana. Sebaliknya, apabila melakukan pelanggaran, sanksi tegas akan ditegakkan,” ujarnya di Gedung Kemenkumham Jakarta, Jumat (17/8).
Utami menjelaskan, dari sebanyak 102.976 narapidana di antaranya sebanyak 2.200 narapidana langsung bebas. Sedangkan 100.776 narapidana masih harus menjalani sisa pidananya.
Lebih lanjut, ia mengatakan remisi bukan sekedar pemberian hadiah. Melainkan momentum untuk mengembalikan marwah Pemasyarakatan memiliki peran strategis dan integritas narapidana dan petugas pemasyarakan. Menurut Utami, menegakkan aturan adalah wajib, sejalan dengana nafas nawacita yang bernafas revolusi mental.
"Revitalisasi Pemasyarakatan menempatkan penilaian perubahan perilaku menjadi indikator utama dalam proses Pemasyarakatan. Tujuan utamanya adalah terciptanya pemulihan dan menurunnya angka resedivis,” jelas Utami.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly menjelaskan, remisi merupakan salah satu sarana hukum yang sangat penting dalam wujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Yaitu, sebagai stimulus bagi narapidana untuk senantiasa menjaga perilaku dan berubah menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya.
“Remisi diberikan sebagai wujud apresiasi terhadap pencapaian perbaikan diri yang tercermin dalam sikap dan prilaku sehari-hari narapidana. Jika mereka tidak berprilaku baik, maka hak remisi tidak akan diberikan,” ujarnya di Gedung Kemenkumham Jakarta, Jumat (17/8).
Yasonna menjelaskan, tolak ukur pemberian remisi tidak didasarkan pada latar belakang pelanggaran hukumnya. Akan tetapi didasarakan pada perilaku mereka selama menjalani masa pidana di Lapas.
Diketahui, dari 33 Kantor Wilayah Kemenkum dan HAM, provinsi terbanyak penerima remisi adalah Jawa Barat sebanyak 11.631 narapidana, disusul Sumatra Utara sebanyak 11.233 narapidana, dan Jawa Timur sebanyak 9.052 narapidana.